Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepekan silam, beberapa kapal penjaga pantai China bertabrakan dengan sebuah kapal logistik dan penjaga pantai Filipina. Lokasinya di dekat "Gosong Thomas Kedua" yang diperebutkan kedua negara. Beruntung tidak ada korban dalam insiden tersebut.
Buntutnya, kedua negara saling menyalahkan telah melanggar kedaulatan teritorial masing-masing. Gosong yang berjarak kurang dari 200 kilometer dari Filipina itu masuk ke dalam gugusan kepulauan Spratly di Laut China Selatan.
Padahal hingga awal tahun ini, hubungan Filipina dan China masih terlihat erat, terutama ketika Presiden Ferdinand Marcos Junior bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing, Januari silam, dan menekankan "rasa persahabatan" yang menghubungkan kedua negara. Cina sebaliknya menjawab ingin "menyumbangkan energi positif dan stabilitas yang lebih kuat di kawasan."
Baca Juga: Gedung Putih Sebut Iran Aktif Memfasilitasi Beberapa Serangan ke Pangkalan Militer AS
Secara kongkrit, China dan Filipina menyepakati kanal komunikasi darurat antarnegara untuk mencegah eskalasi yang tidak diinginkan di Laut China Selatan. Selain itu, Beijing juga menjanjikan investasi senilai US$ 22 miliar.
Perubahan poros politik
Dua bulan berselang, persahabatan dan energi positif dari China menghilang. Maret silam, FIlipina menuduh China bertindak kian agresif, antara lain menembakkan laser ke arah kapal penjaga pantai miliknya. Insiden serupa berulang pada bulan Agustus, saat kapal penjaga pantai China menembak kapal Filipina dengan meriam air.
Awal Oktober ini, China menempatkan hambatan terapung dan menutup akses bagi kapal nelayan Filipina ke dalam Gosong Thomas Kedua. Hambatan tersebut sudah dipindahkan paksa oleh militer Filipina. Namun belum situasinya mereda, kini sudah terjadi insiden tabrakan antara kapal dari kedua negara. "Upaya Manila berkoordinasi dengan Beijing melalui kanal darurat dibiarkan tidak terjawab", kata Menteri Luar Negeri Enrique Manalo.
Baca Juga: China dan Filipina Saling Tuding terkait Bentrokan di Laut China Selatan
Bill Hayton dari lembaga wadah pemikir Chatham House di Inggris mengatakan, perubahan kebijakan di China bukan cuma menyangkut Gosong Thomas Kedua, tetapi juga bisa dipahami sebagai reaksi Beijing atas perubahan kebijakan luar negeri di Manila. Karena berbeda dengan pendahulunya, Marcos Jr. mengaku dirinya "bertekad bulat untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat," untuk "melawan agresi China di Laut China Selatan."
Pada April 2023, Filipina menyepakati perjanjian pertahanan dengan pemerintah di Washington. Kesepakatan itu antara lain mengizinkan militer AS membuka empat pangkalan baru di wilayah utara, yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan dan berdekatan dengan Taiwan.
Diplomasi publik
Bahwa konflik di LCS kian menyita perhatian publik, adalah bagian dari strategi pemerintahan Marcos Jr. Terutama sejak pengangkatan Jendral Eduardo Ano sebagai pansehat keamanan nasional, kapal-kapal Filipina yang berlayar di LCS dilengkapi tim kamera untuk mendokumentasikan konflik.
"Filipina menggunakan video dan diplomasi publik dengan niat untuk menampilkan betapa sulitnya berurusan dengan China," kata Hayton. Tapi menurutnya, keberhasilan strategi itu menyaratkan satu hal, "saya kira, mereka harus menghubungkan konflik di LCS dengan seluruh kawasan dan menjadikannya masalah bagi seluruh kawasan Asia Tenggara, serta mengaitkannya dengan hukum laut internasional."
"Harus dijelaskan secara utuh dimensi regional dan global dari konflik tersebut."
"Di atas kertas, solusinya mudah," kata Hayton. Karena semua klaim historis oleh semua negara yang bertikai dipenuhi keraguan, maka semua pihak harus menyepakati status quo, di mana pulau-pulau yang sudah diduduki tidak akan dikembalikan. Adapun masalah soal hak penangkapan ikan atau eksploitasi sumber daya alam, bisa dinegosiasikan menurut "Konfensi Hukum Laut Internasional PBB" atau UNCLOS.
"Faktor terbesar yang menghalangi solusi tersebut adalah China sendiri", lanjut Hayton. "China bermanuver dengan narasi historis yang kurang bijak, bahwa China memiliki seluruh Laut China Selatan, meski banyak fakta yang berkata sebaliknya."