kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,20   7,81   0.87%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Konflik militer China dengan Jepang bisa meletus gara-gara Kepulauan Senkaku


Minggu, 21 Juni 2020 / 11:58 WIB
Konflik militer China dengan Jepang bisa meletus gara-gara Kepulauan Senkaku
ILUSTRASI. Konflik militer China dengan Jepang bisa meletus gara-gara Kepulauan Senkaku


Sumber: CNN | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - HONG KONG. China tengah bersitegang dengan India soal perbatasan di Himalaya. Ada potensi konflik lain yang juga melibatkan China. Kali ini dengan Jepang soal wilayah pulau tak berpenghuni yang berjarak 1.900 kilometer barat daya Tokyo.

CNN melaporkan, baik Jepang maupun China mengklaim pulau-pulau yang tidak berpenghuni yang dikenal sebagai Senkakus di Jepang dan Diaoyus di China, sebagai milik mereka. Tetapi Jepang telah mengelola pulau itu sejak 1972.

Ketegangan pulau yang berjarak 1.200 mil (1.900 kilometer) barat daya Tokyo tersebut, telah mendidih selama bertahun-tahun. Baik Jepang maupun China kemungkinan tidak akan mundur di wilayah tersebut.

Baca Juga: Pandemi corona bikin bisnis di Jepang tak bergairah

Sengketa pulau-pulau itu tidak jauh berbeda dengan sengketa perbatasan di ketinggian Himalaya, selama puluhan tahun ketegangan di perbatasan yang tidak jelas antara China dan India dan akhirnya meletus di awal pekan ini.

Repotnya, gejolak tak terduga di Senkaku/Diaoyus dapat memicu konfrontasi militer antara China dan Amerika Serikat (AS).

Itu karena AS memiliki perjanjian pertahanan bersama dengan Jepang. Jika wilayah Jepang diserang oleh kekuatan asing, Amerika Serikat wajib mempertahankannya.

Kekhawatiran kemungkinan konfrontasi Jepang-China meningkat di pekan lalu, setelah penjaga pantai Jepang mengumumkan kapal pemerintah China telah terlihat di perairan dekat Kepulauan Senakaku/Diaoyu setiap hari sejak pertengahan April 2020.

Menanggapi meningkatnya kehadiran China di Senakaku/Diaoyu tersebut, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menegaskan kembali, Kepulauan Senkaku berada di bawah kendali Jepang.

"Tidak diragukan lagi wilayah kami secara historis dan hukum internasional. Sangat serius bahwa kegiatan ini berlanjut. Kami akan menanggapi pihak China dengan tegas dan tenang," kata Suga.

Dalam sebuah pernyataan Jumat (19/6), Kementerian Luar Negeri China menanggapi pernyataan pemerintah Jepang dari perspektif sebaliknya.

"Pulau Diaoyu dan pulau-pulau afiliasinya adalah bagian yang melekat dari wilayah China, dan itu adalah hak kami untuk melakukan patroli dan kegiatan penegakan hukum di perairan ini."

Baca Juga: Empat kapal Tiongkok berada di Kepulauan Senkaku, Jepang langsung protes keras

Sulut sengketa

Koran Global Times yang dikelola pemerintah China memuat laporan yang berjudul "Konservatif Jepang mengganggu pemulihan hubungan China-Jepang dengan menyulut sengketa Kepulauan Diaoyu," mengkritik upaya yang sedang berlangsung di prefektur Okinawa Jepang untuk mengubah administrasi kepulauan tersebut. Global Times menyebut hal itu dapat membahayakan hubungan Jepang-China.

Sementara Asahi Shimbun Jepang melaporkan, dewan ingin memisahkan pulau-pulau dari bagian-bagian pulau Ishigaki yang padat untuk merampingkan praktik administrasi.

Namun dalam resolusi Dewan Kota Ishigaki menegaskan bahwa pulau-pulau adalah bagian dari wilayah Jepang.

Baca Juga: Konflik dengan China, PM Modi: Seluruh negara terluka dan marah!

"Mengubah penunjukan administrasi pada saat ini hanya dapat membuat perselisihan lebih rumit dan membawa lebih banyak risiko krisis," kata Li Haidong, seorang profesor di Institut Hubungan Internasional Universitas Hubungan Luar Negeri China kepada Global Times.

Sebelunya, krisis di kepulauan ini pernah terjadi pada 2012 silam.

Saat itu, Jepang menasionalisasi pulau-pulau yang dimiliki secara pribadi untuk menangkal penjualan yang direncanakan gubernur Tokyo saat itu, seorang nasionalis garis keras yang dilaporkan berharap untuk mengembangkan pulau-pulau tersebut.

Rencana Jepang itu memicu protes jalanan besar dan sangat tidak biasa di seluruh China, di tengah gelombang sentimen nasionalis.

Demonstrasi berubah menjadi kekerasan ketika pengunjuk rasa melemparkan puing-puing ke Kedutaan Besar Jepang di Beijing, menggeledah toko-toko dan restoran-restoran Jepang dan menjungkirbalikkan mobil-mobil Jepang.

Baca Juga: Kenapa China vs India rebutan Lembah Galwan yang kering dan tidak ada tumbuhan?

Sejarah pertikaian

Cina mengklaim sejak 1400-an, kepulauan itu sudah dimiliki China ketika pulau itu digunakan sebagai titik singgah bagi nelayan Tiongkok.

Namun, Jepang tidak melihat jejak kontrol China atas pulau-pulau dalam survei 1885, sehingga secara resmi kepulauan tersebut sebagai wilayah berdaulat Jepang pada tahun 1895.

Sekelompok pemukim memproduksi ikan kering dan mengumpulkan bulu, dengan pulau-pulau yang memiliki lebih dari 200 penduduk pada satu titik, menurut Kementerian Luar Negeri Jepang.

Jepang kemudian menjual pulau-pulau itu pada tahun 1932 kepada keturunan para pendatang asli, tetapi pulau-pulau itu akhirnya ditinggalkan. Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II pada tahun 1945.

Baca Juga: AS tolak permintaan maskapai penerbangan Tiongkok untuk penerbangan tambahan

Pulau-pulau itu dikelola oleh pasukan pendudukan AS setelah perang. Tetapi pada tahun 1972, Washington mengembalikan ke Jepang sebagai bagian dari penarikan pasukan dari Okinawa.

Taiwan yang dianggap China sebagai provinsi Cina, juga mengklaim kepemilikan kepulauan tersebut.

Pertahanan di Senkaku/Diaoyus telah menjadi prioritas Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) dalam beberapa tahun terakhir. Dewan Hubungan Luar Negeri mencatat, Jepang telah mendirikan pangkalan militer baru di dekatnya untuk melindungi pulau-pulau itu.  JSDF juga telah membangun marinirnya

Meskipun pulau-pulau itu tidak berpenghuni, ada kepentingan ekonomi yang terlibat, menurut CFR.
CFR menyebut, pulau-pulau itu memiliki cadangan minyak dan gas alam yang potensial, dekat dengan rute pelayaran yang terkenal, dan dikelilingi oleh daerah penangkapan ikan yang kaya.

Itu semua menambah potensi masalah, kata William Choong, seorang partnet senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura

"Dibandingkan dengan titik nyala lainnya di wilayah ini - Laut China Selatan, Taiwan, dan program senjata Korea Utara - Laut China Timur menggabungkan campuran yang unik dan mudah terbakar dari sejarah, kehormatan dan wilayah," tulis Choong di The Interpreter.

Baca Juga: Pasca bentrokan berdarah, seruan boikot barang China di India makin kuat




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×