Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Hubungan Malaysia dengan China terancam memanas. Hal ini setelah Kuala Lumpur tak akan mengekstradisi warga Uighur yang telah melarikan diri dari China.
Meski tak pernah diungkapkan ke publik, namun keputusan ini ditemukan dalam sebuah catatan dari pemerintah Malaysia kepada parlemennya. Hal ini menandai pertama kalinya Malaysia menyatakan posisinya soal isu Uighur.
Sean R. Roberts, seorang profesor studi pembangunan internasional di Universitas George Washington, dengan tindakan ini, Malaysia mengambil sikap penting di saat banyak negara lain di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Thailand enggan untuk mengambilnya.
Baca Juga: Presiden Donald Trump menyulut masalah baru dengan China dengan kebijakan ini
"Ini kemungkinan akan membuat marah Beijing, tetapi itu adalah posisi yang bertanggung jawab," ujar Robert.
Posisi Malaysia mungkin mengakibatkan beberapa orang Uighur yang tersisa dan masih tersebar di seluruh Asia Tenggara mencari perlindungan di Malaysia.
Sementara sebagian besar orang Uighur yang telah melarikan diri dari China melalui Asia Tenggara pada akhirnya berusaha untuk melakukan perjalanan ke Turki. “Tidak ada bukti bahwa Uighur saat ini dapat melarikan diri dari China sama sekali,” kata Roberts.
Baca Juga: Mampukah AS tenggelamkan semua armada China di Laut China Selatan dalam 72 jam?
Mustafa Akyol, penulis asal Turki yang berfokus pada Islam dan modernitas, mengatakan posisi Malaysia menandai awal langkah dari negara-negara mayoritas Muslim untuk melindungi Uighur dari murka China.
Di saat penganiayaan terhadap warga Uighur di China telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, dia bilang banyak pemimpin Muslim berpaling ke arah lain, karena persahabatan mereka dengan China.
Menurutnya, pesan Beijing bahwa tiap negara tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri satu sama lain, kemungkinan beresonansi dengan di antara pemimpin.
Baca Juga: Dengan kemenangan Biden, Huawei berharap bisa kembali berbisnis di AS
Ribuan orang Uighur meninggalkan Tiongkok melalui Asia Tenggara dari tahun 2010 hingga 2016 sebagai akibat dari meningkatnya represi di wilayah Uighur di China.
Human Rights Watch (HRW) telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap orang Uighur, termasuk penahanan sewenang-wenang massal terhadap setidaknya 1 juta orang, penghilangan paksa, pengadilan yang sangat politis yang berakhir dengan hukuman mati dan penyiksaan dalam tahanan.