Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - VATIKAN. Paus Fransiskus diperkirakan tidak akan menggunakan hak vetonya terhadap pencalonan Brian Burch, seorang kritikus kepausannya, sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Takhta Suci.
Hal ini disampaikan oleh dua pejabat senior Vatikan, meskipun terdapat kekhawatiran mengenai pandangan Burch terkait berbagai isu.
Burch, pemimpin kelompok advokasi sayap kanan CatholicVote, pernah menyebut bahwa kebijakan pastoral Paus Fransiskus, termasuk pendekatan yang lebih inklusif terhadap umat Katolik LGBTQ, telah menciptakan "kebingungan besar" di kalangan 1,4 miliar umat Katolik di dunia.
Baca Juga: Paus Fransiskus Bertemu Presiden Ukraina Zelenskiy di Vatikan
Presiden Donald Trump mengajukan nama Burch untuk posisi tersebut pada Desember lalu. Pada saat itu, Austen Ivereigh, seorang penasihat Paus yang juga ikut menulis buku bersama Fransiskus pada tahun 2020, mengatakan bahwa Vatikan memiliki hak penuh untuk menolak akreditasi Burch.
Namun, menurut pejabat Vatikan, Paus Fransiskus tampaknya ingin menghindari konflik diplomatik dan tidak berencana memveto penunjukan tersebut, meskipun pengangkatan ini dapat memerlukan penunjukan duta besar Vatikan baru untuk AS selama masa jabatan empat tahun Trump.
Baca Juga: Paus Fransiskus Tiba di Indonesia, Langsung Menuju ke Kedutaan Besar Vatikan
Sementara itu, proses konfirmasi Senat untuk Burch belum dijadwalkan. Burch juga belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar terkait pencalonannya.
Saat diumumkan sebagai calon, Burch mengatakan melalui platform media sosial X bahwa ia berkomitmen untuk bekerja dengan Vatikan dan pemerintah baru guna mempromosikan martabat manusia dan kebaikan bersama.
Kritik terhadap Paus Fransiskus
Paus Fransiskus, yang memimpin Gereja Katolik sejak 2013, dikenal menghindari keterlibatan langsung dalam perdebatan politik. Namun, ia pernah mengkritik beberapa kebijakan Presiden Trump, seperti rencana deportasi massal imigran tanpa dokumen.
Sebelum pelantikan Trump, Paus menyebut rencana deportasi tersebut sebagai aib.
Burch sendiri memiliki riwayat kritik terhadap kebijakan Paus. Pada tahun 2023, ia menentang keputusan Paus yang mengizinkan para pendeta memberkati pasangan sesama jenis.
Baca Juga: Paus Fransiskus Sebut Dana Pensiun Vatikan Hadapi 'Ketidakseimbangan Serius'
Ia juga menuduh Paus menjalankan Gereja dengan pola dendam, mengacu pada keputusan Fransiskus yang memberhentikan seorang uskup Katolik di Texas karena menyebarkan materi sayap kanan dan teori konspirasi di media sosial.
Dua mantan duta besar AS untuk Vatikan mengatakan bahwa kritik Burch terhadap Paus bisa menjadi hambatan dalam membangun hubungan diplomatik.
Ken Hackett, duta besar era Presiden Barack Obama, menegaskan bahwa para pejabat Vatikan tidak suka diremehkan atau mendengar kritik terhadap Paus.
Francis Rooney, mantan duta besar era George W. Bush, menambahkan bahwa meskipun Vatikan memprioritaskan hubungan baik dengan pemerintah AS, mereka akan berhati-hati dalam berinteraksi dengan kritikus Paus.
Baca Juga: Menag: Pertemuan Jokowi dan Paus Fransiskus Akan Bahas Hubungan Indonesia-Vatikan
"Jika diskusi ini terlalu memanas di ruang publik, Vatikan cenderung mengambil jarak," ujar Rooney.
Peran CatholicVote dan Kontroversinya
CatholicVote, organisasi yang dipimpin Burch, dikenal memiliki hubungan dekat dengan Partai Republik. Pada pemilu 2020, organisasi ini mendukung Trump melalui panduan pemilih yang menyoroti kesesuaian Trump dengan ajaran Katolik terkait aborsi, kebebasan beragama, dan perawatan kesehatan.
Namun, panduan tersebut mengabaikan kritik Paus terhadap Trump.
Baca Juga: Selama Kunjungan di Indonesia, Paus Fransiskus Memilih Menginap di Kedubes Vatikan
Kelompok ini juga memanfaatkan teknologi "geofencing" untuk mengumpulkan data dari ponsel jemaat yang menghadiri misa, memungkinkan mereka menargetkan pemilih Katolik dengan iklan politik yang mendukung Trump. Praktik ini memicu perdebatan etika.
Pendeta Tom Reese, seorang komentator Jesuit di AS, menyatakan bahwa Vatikan mengharapkan para duta besar untuk mendorong agenda negara mereka. Namun, ia menekankan bahwa "seorang pelobi yang tidak menyenangkan tidak akan mencapai banyak hal."