Sumber: Telegraph | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Sabuk, Jalan, dan Jerat Utang
Sejak awal masa kepemimpinannya, Presiden Xi Jinping telah membangun kekuatan ekonomi ini.
Senjata paling terkenal: Belt and Road Initiative (BRI) — proyek pinjaman, hibah, dan investasi senilai US$ 1,3 triliun untuk membiayai infrastruktur di 150 negara.
Program ini membuka jalan bagi perusahaan China, mengikat ekonomi negara penerima dalam koridor perdagangan Beijing, dan membeli pengaruh politik.
Semester pertama tahun ini jadi yang terbesar: US$ 66 miliar kontrak konstruksi dan US$ 57 miliar investasi, terutama di sektor energi, logam, dan teknologi.
Kini, China telah menjadi kreditur terbesar bagi negara berkembang, menyalip IMF dan Bank Dunia. Banyak proyek yang dibiayai dengan utang disertai jaminan aset strategis.
“Kalau kamu berutang miliaran dolar ke China, kamu harus bersikap manis padanya,” kata Kynge. “Saya tidak menyebutnya paksaan, tapi leverage—yang bisa berubah jadi paksaan kapan saja.”
Contohnya, pelabuhan Hambantota di Sri Lanka yang diambil alih dengan sewa 99 tahun karena gagal bayar, dan jalur kereta Ethiopia–Djibouti yang justru membebani negara dengan utang ke Beijing.
Baca Juga: Menantang Trump, Tim Cook Janji Tambah Investasi Apple di China
Monopoli Pasokan Dunia
Senjata kedua Xi: monopoli rantai pasok global.
China memproduksi 61% logam tanah jarang dunia dan memproses 92% dari total pasokan global. Ia juga mendominasi baterai, panel surya, dan turbin angin.
Dengan begitu, Beijing bisa mengendalikan harga, laba, dan akses pasar global.
“China tak hanya bisa menahan ekspor, tapi juga bisa membanjiri pasar global dengan produk bersubsidi tinggi seperti mobil listrik dan panel surya,” kata Inkster. “Bagi Eropa, ini kekhawatiran serius.”
Sering kali, Beijing menyamarkan langkahnya dengan prosedur teknis: “larangan” ekspor disebut hanya “proses perizinan baru”, sementara boikot impor terhadap anggur, barley, dan lobster Australia diklaim sebagai “masalah sanitasi”.
“China menyamarkan tindakan politiknya sebagai sengketa teknis dagang,” ujar John Coyne dari Australian Strategic Policy Institute.