Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan pinjaman baru di China meningkat pada September 2025, namun masih di bawah ekspektasi pasar, mencerminkan lemahnya permintaan kredit di tengah upaya pemerintah mengatasi krisis properti berkepanjangan dan kelebihan kapasitas industri.
Menurut data Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBOC) yang dirilis Rabu (15/10), nilai pinjaman baru mencapai 1,29 triliun yuan (sekitar US$181,06 miliar), naik signifikan dari 590 miliar yuan pada Agustus.
Namun, angka tersebut masih lebih rendah dari perkiraan analis Reuters sebesar 1,47 triliun yuan, dan juga di bawah 1,59 triliun yuan pada periode yang sama tahun lalu.
Secara musiman, pemberian pinjaman di China memang biasanya meningkat pada bulan September. Namun, analis menilai data kali ini menandakan siklus kredit China telah mencapai puncaknya.
Baca Juga: Trump Pertimbangkan Hentikan Perdagangan Minyak Goreng dengan China
“Data September menegaskan bahwa siklus kredit saat ini sudah melewati puncaknya, dan laju pertumbuhan pembiayaan agregat serta M2 kemungkinan akan terus menurun,” ujar Xing Zhaopeng, Senior China Strategist di ANZ.
Menurut Xing, tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi kian besar, sehingga pemangkasan rasio cadangan wajib (RRR) kemungkinan akan lebih diprioritaskan ketimbang penurunan suku bunga.
Ia menambahkan, langkah tersebut mungkin dilakukan pada Desember, mengingat stabilitas nilai tukar menjadi fokus utama pemerintah saat ini.
Pertumbuhan Kredit dan Uang Beredar Melambat
Total pinjaman yuan yang beredar pada September tercatat tumbuh 6,6% secara tahunan, menandai level terendah dalam sejarah, turun dari 6,8% pada Agustus dan lebih lemah dari ekspektasi pasar sebesar 6,7%.
Secara kumulatif, bank-bank China menyalurkan 14,75 triliun yuan dalam pinjaman baru sepanjang Januari–September 2025, turun sekitar 8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (16,02 triliun yuan).
Baca Juga: Pengiriman iPhone di China Naik Tipis 0,6% di Tengah Lesunya Pasar Smartphone
Pinjaman rumah tangga naik menjadi 389 miliar yuan, meningkat dari 30,3 miliar yuan bulan sebelumnya, sementara pinjaman korporasi melonjak menjadi 1,22 triliun yuan dari 590 miliar yuan di Agustus.
Ekonomi China Kehilangan Momentum
Ekonomi China menunjukkan tanda-tanda kehilangan tenaga dalam dua kuartal terakhir. Aktivitas manufaktur pada September menyusut selama enam bulan berturut-turut, sementara tekanan deflasi tetap kuat dengan turunnya harga konsumen dan produsen.
Meskipun ekspor sempat rebound pada September, ketegangan dagang baru antara Beijing dan Washington kembali memicu kekhawatiran terhadap lapangan kerja dan risiko deflasi lebih lanjut.
Ketegangan meningkat setelah China mengumumkan ekspansi besar pada kontrol ekspor logam tanah jarang (rare earth), sementara Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif hingga 100% terhadap produk China dan memperketat ekspor perangkat lunak mulai 1 November.
Kebijakan Stimulus Masih Terbatas
Pemerintah China masih berhati-hati untuk tidak meluncurkan stimulus besar-besaran, karena khawatir akan memicu gelembung pasar saham seperti yang terjadi pada 2015.
Namun, untuk menekan risiko deflasi, Beijing telah meluncurkan program “anti-involution” guna mengurangi kelebihan kapasitas industri dan persaingan tidak sehat antarperusahaan. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi bunga untuk pinjaman rumah tangga dan bisnis mulai September.
Baca Juga: Harga Konsumen dan Produsen China Masih Tertekan pada September
China juga berencana mengalokasikan 500 miliar yuan melalui instrumen keuangan berbasis kebijakan guna mempercepat proyek investasi dan menopang pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Indikator Moneter Menunjukkan Perlambatan
Uang beredar luas (M2) tumbuh 8,4% secara tahunan pada September, lebih rendah dari perkiraan analis sebesar 8,5% dan dari laju 8,8% pada Agustus. Sementara itu, M1—yang mencerminkan likuiditas jangka pendek perusahaan—naik menjadi 7,2%, dibanding 6,0% pada bulan sebelumnya.
Total pembiayaan sosial (Total Social Financing/TSF) meningkat 8,7%, sedikit melambat dari 8,8% di Agustus. Penurunan pasokan obligasi pemerintah baru juga diperkirakan akan menekan TSF di bulan-bulan mendatang, setelah penerbitan yang kuat di paruh pertama tahun ini.
TSF mencakup berbagai bentuk pembiayaan di luar pinjaman bank tradisional, seperti penawaran saham perdana (IPO), pinjaman dari perusahaan trust, dan penerbitan obligasi.
“Kami memperkirakan adanya sedikit pemangkasan suku bunga dalam setahun ke depan, tetapi deflasi akan menjaga suku bunga riil tetap tinggi sehingga menekan penyaluran kredit bank,” tulis Capital Economics dalam laporannya.