Sumber: Channelnewsasia.com | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - PARIS. Prancis meradang, setelah raksasa farmasi Sanofi akan melakukan pengiriman pertama setiap vaksin virus corona baru buatannya untuk Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Prancis mengatakan, langkah sanofi itu "tidak bisa diterima" dalam krisis wabah virus corona yang telah menewaskan hampir 300.000 orang di seluruh dunia.
CEO Sanofi Paul Hudson pada Rabu (13/5) menyebutkan, AS akan mendapatkan prioritas pertama karena pemerintahnya membantu mendanai penelitian vaksin perusahaannya.
Baca Juga: Peringatan FBI: Peretas berafiliasi Pemerintah China berusaha curi data vaksin corona
"Pemerintah AS memiliki hak atas pemesanan di muka terbesar karena telah berinvestasi untuk mengambil risiko," kata Hudson kepada Bloomberg News seperti dikutip Channelnewsasia.com.
"Begitulah, karena mereka telah berinvestasi untuk mencoba dan melindungi populasi mereka, untuk memulai kembali ekonomi mereka," ujarnya. "Saya telah berkampanye di Eropa untuk mengatakan, AS akan mendapatkan vaksin terlebih dahulu".
Pernyataan Hudson mengundang kemarahan para pejabat dan pakar kesehatan Prancis, lantaran Sanofi yang bermarkas di Paris telah memperoleh manfaat puluhan juta euro dalam kredit penelitian dari Prancis dalam beberapa tahun terakhir.
"Bagi kami, itu tidak bisa diterima, karena ada akses istimewa ke negara ini (Prancis) dan itu untuk alasan keuangan," kata Wakil Menteri Keuangan Perancis Agnes Pannier-Runacher kepada Sud Radio, Kamis (14/5), seperti dilansir Channelnewsasia.com.
Pannier-Runacher menyatakan, dia segera menghubungi Sanofi setelah komentar Hudson, warga negara Inggris yang mengambil alih pucuk pimpinan perusahaan farmasi itu tahun lalu.
"Kepala Divisi Sanofi Prancis mengonfirmasi ke saya, vaksin akan tersedia di setiap negara dan jelas untuk Prancis juga, paling tidak karena memiliki kapasitas produksi di Prancis," ujarnya.
Baca Juga: Beijing ancam Prancis: Penjualan senjata ke Taiwan bisa bahayakan hubungan diplomatik
Menteri Pendidikan Tinggi Prancis Frederique Vidal mengatakan, rencana Sanofi untuk memberikan akses prioritas kepada AS "tidak bisa dipahami dan memalukan". Sebab, vaksin yang berhasil harus menjadi "barang publik untuk dunia".
Pada April lalu, Sanofi bergabung dengan GlaxoSmithKline dari Inggris untuk mengembangkan vaksin, meskipun uji coba belum dimulai.
Proyek mereka sebagian didanai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Biomedis Lanjutan (BARDA) dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.