Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Ketika meninggalkan Gaza pada 2017, Haniyeh digantikan oleh Yahya Sinwar, tokoh garis keras yang pernah dipenjara di Israel selama lebih dari dua dekade.
Sebagai pemimpin politik Hamas, Haniyeh memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh garis keras dalam kelompok tersebut dan sayap militer Hamas.
Haniyeh dan Meshaal telah bertemu dengan para pejabat di Mesir yang juga berperan sebagai mediator dalam perundingan gencatan senjata. Pada awal November, Haniyeh melakukan perjalanan ke Teheran untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Baca Juga: Tiga Putra Pemimpin Hamas Tewas dalam Serangan Udara Israel di Jalur Gaza
Haniyeh, seorang Muslim Sunni, berperan besar dalam membangun kapasitas tempur Hamas dengan menjalin hubungan dengan Iran, negara Muslim Syiah yang terang-terangan mendukung Hamas.
Awal Karir
Saat masih muda, Haniyeh adalah aktivis mahasiswa di Universitas Islam di Kota Gaza dan bergabung dengan Hamas pada tahun 1987 saat kelompok itu dibentuk. Ia menjadi anak didik pendiri Hamas Syekh Ahmad Yassin dan salah satu ajudan yang dipercaya pada tahun 2003. Yassin dibunuh oleh Israel pada tahun 2004.
Baca Juga: Netanyahu: Kami Telah Berhasil Menghancurkan Dua Pertiga Resimen Hamas
Sebagai pendukung awal Hamas dalam politik, Haniyeh menjadi perdana menteri Palestina setelah Hamas memenangkan pemilihan parlemen pada tahun 2006. Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007 dan Haniyeh menegaskan bahwa perlawanan terhadap Israel akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk.
Haniyeh, dengan pendekatan diplomatiknya, terus menjadi suara penting dalam politik Hamas hingga akhir hayatnya.