Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - DUBAI/LONDON. Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas yang tewas di Iran, dikenal sebagai sosok yang keras dalam diplomasi internasional dalam membela Palestina ketika konflik berkecamuk di Gaza, di mana tiga putranya tewas akibat serangan udara Israel.
Meski sering berbicara keras, banyak diplomat melihatnya sebagai sosok yang moderat dibandingkan dengan anggota Hamas yang lebih garis keras dan didukung Iran di Gaza.
Haniyeh, yang diangkat sebagai pejabat tinggi Hamas pada 2017, sering berpindah antara Turki dan Doha, Qatar, menghindari pembatasan perjalanan di Jalur Gaza yang diblokade.
Baca Juga: Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh Tewas Dibunuh di Iran
Ini memungkinkannya berperan sebagai negosiator dalam perundingan gencatan senjata dan berkomunikasi dengan sekutu Hamas, Iran.
"Semua perjanjian normalisasi yang Anda (negara-negara Arab) tandatangani dengan (Israel) tidak akan mengakhiri konflik ini," ujar Haniyeh di Al Jazeera setelah pejuang Hamas melancarkan serangan pada 7 Oktober.
Israel merespons serangan ini dengan kampanye militer yang telah menewaskan lebih dari 35.000 orang di Gaza, menurut otoritas kesehatan setempat.
Putra-Putra Haniyeh Tewas
Tiga putra Haniyeh – Hazem, Amir, dan Mohammad – tewas pada 10 April akibat serangan udara Israel yang menghantam mobil mereka, menurut Hamas.
Selain itu, Haniyeh juga kehilangan empat cucunya dalam serangan tersebut. Haniyeh membantah klaim Israel bahwa putra-putranya adalah pejuang Hamas, menekankan bahwa "kepentingan rakyat Palestina diutamakan di atas segalanya" ketika ditanya apakah kematian mereka akan mempengaruhi perundingan gencatan senjata.
Baca Juga: Israel Tolak Syarat Gencatan Senjata Hamas
Meski sering berbicara keras di depan umum, diplomat dan pejabat Arab melihatnya sebagai sosok yang relatif pragmatis dibandingkan dengan anggota Hamas lainnya di Gaza.
Haniyeh dan Khaled Meshaal, pendahulunya sebagai pemimpin Hamas, telah berkeliling wilayah tersebut untuk pembicaraan mengenai perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Qatar dengan Israel.
Diplomasi Ulang Alik
Ketika meninggalkan Gaza pada 2017, Haniyeh digantikan oleh Yahya Sinwar, tokoh garis keras yang pernah dipenjara di Israel selama lebih dari dua dekade.
Sebagai pemimpin politik Hamas, Haniyeh memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh garis keras dalam kelompok tersebut dan sayap militer Hamas.
Haniyeh dan Meshaal telah bertemu dengan para pejabat di Mesir yang juga berperan sebagai mediator dalam perundingan gencatan senjata. Pada awal November, Haniyeh melakukan perjalanan ke Teheran untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Baca Juga: Tiga Putra Pemimpin Hamas Tewas dalam Serangan Udara Israel di Jalur Gaza
Haniyeh, seorang Muslim Sunni, berperan besar dalam membangun kapasitas tempur Hamas dengan menjalin hubungan dengan Iran, negara Muslim Syiah yang terang-terangan mendukung Hamas.
Awal Karir
Saat masih muda, Haniyeh adalah aktivis mahasiswa di Universitas Islam di Kota Gaza dan bergabung dengan Hamas pada tahun 1987 saat kelompok itu dibentuk. Ia menjadi anak didik pendiri Hamas Syekh Ahmad Yassin dan salah satu ajudan yang dipercaya pada tahun 2003. Yassin dibunuh oleh Israel pada tahun 2004.
Baca Juga: Netanyahu: Kami Telah Berhasil Menghancurkan Dua Pertiga Resimen Hamas
Sebagai pendukung awal Hamas dalam politik, Haniyeh menjadi perdana menteri Palestina setelah Hamas memenangkan pemilihan parlemen pada tahun 2006. Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007 dan Haniyeh menegaskan bahwa perlawanan terhadap Israel akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk.
Haniyeh, dengan pendekatan diplomatiknya, terus menjadi suara penting dalam politik Hamas hingga akhir hayatnya.