kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Raja baru Thailand perkuat kontrolnya atas negara


Senin, 01 Mei 2017 / 15:00 WIB
Raja baru Thailand perkuat kontrolnya atas negara


Sumber: CNBC | Editor: Mesti Sinaga

Masa berkabung atas berpulangnya Raja Bhumibol Adulyadei, usai. Kini di bawah kekuasaan raja baru, kontrol negara semakin dalam di negara ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu.

Sensor yang ketat dan terbatasnya kebebasan berekspresi  selama ini selalu menjadi catatan dalam penegakan hak asasi manusia  di Thailand. Dan perkembangan belakangan ini menunjukkan kontrol negara yang kian intensif.

Di Kerajaan Thailand, perdana menteri memang mengelola urusan pemerintahan. Namun monarki selama berabad-abad masih menjadi institusi yang sangat dipuja.  Hampir di semua rumah terpajang setidaknya satu foto raja.

Di Negeri Gajah Putih ini, orang yang melakukan penghinaan terhadap kerajaan dapat dikenai hukuman hingga 15 tahun penjara. Ya, undang-undang penghinaan terjadap raja (lese-majeste law) di negara ini merupakan yang paling ketat di dunia.

Sementara  bagi mereka yang menentang  atau menunjukkan ekspresi menolak peraturan militer -  yang merupakan bentuk pemerintahan sejak 1932 - dapat diganjar tuduhan menghasut  dengan ancaman hukuman  tujuh tahun penjara.

Di awal bulan ini, Kementerian Masyarakat dan Ekonomi Digital mengeaurkan sebuah surat yang isinya melarang orang Thailand melakukan segala jenis interaksi dengan tiga kritikus terkenal: jurnalis Andrew MacGregor Marshall, sejarawan Somsak Jeamteerasakul dan akademisi Pavin Chachavalpongpun.

Warga yang mengikuti, menghubungi atau berbagi konten dari trio tersebut di internet bisa dituduh melanggar peraturan kejahatan komputer (Computer Crime Act).

Ketiga laki-laki tersebut - yang tetap dihormati di kalangan internasional-  telah banyak menulis tentang kegagalan monarki  menjalankan pemerintahan yang demokratis. Ketiganya juga menyerukan bahwa kerajaan perlu secara mendasar mereformasi kekuatannya.

Di antara topik tulisan mereka yang banyak mengundang perdebatan  adalah tentang Dewan Penasihat negara, sebuah badan penasehat yang dipilih sendiri oleh raja. Dewan ini mengawasi penunjukan militer dan peradilan utama untuk melindungi kepentingan kerajaan. 

Trio itu juga menyoroti kurangnya transparansi atas kekayaan keluarga kerajaan.  Crown Property Bureau,  yang mengelola investasi monarki, merupakan grup korporat terbesar di Thailand  dengan aset  US$ 37 miliar US$ 53 miliar. Namun,  biro ini tunduk pada kontrol raja.

Marshall, Jeamteerasakul dan Chachavalpong yang telah meninggalkan negara bertahun-tahun lalu, masih menghadapi  ancaman penangkapan jika mereka kembali  menyinggung praktik kerajaan Thailand.

Akibat larangan tersebut, Marshall dan Chachavalpong mengatakan kepada CNBC, media sosial mereka masing-masing meningkat tajam, namun mereka tetap memperhatikan keselamatan keluarga mereka di Thailand.

Masyarakat internasional telah lama mengecam Bangkok karena menangkap dan menahan warga di bawah tuduhan lian-majeste dan hasutan.

"Larangan baru-baru ini bahkan lebih berat dari biasanya dan mencerminkan ketidaknyamanan atas kritik terhadap raja," kata Christian Lewis, Asia associate di konsultan risiko politik Eurasia Group.

Banyak  orang percaya bahwa Raja Maha Vajiralongkorn, yang mengambil alih takhta pada Desember lalu setelah kematian ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej, memainkan peran kunci di balik sikap otokratis Bangkok yang meningkat.

Media internasional telah banyak menggambarkan mantan pangeran mahkota itu sebagai playboy yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri.

Sebelum menandatangani konstitusi baru pada tanggal 6 April 2017, Raja Vajiralongkorn membuat beberapa perubahan yang diyakini para analis bertujuan meningkatkan kekuatan kerajaannya, seperti menjadikan raja sebagai penengah utama pada saat terjadi pergolakan konstitusional.

Hal itu, secara legal menempatkan raja di garis depan perselisihan politik potensial, yang memang kerap terjadi Thailand.  Menurut Joshua Kurlantzick, Anggota Senior Southeast Asia di Council of Foreign Relations, hal itu juga menetapkan panggung bagi monarki untuk campur tangan dalam politik.

Sayangnya pemerintah Thailand tidak menanggapi permintaan CNBC untuk memberikan komentar. 

"Kenyataan baru di Thailand adalah langkah menuju peningkatan absolutisme negara, yang mungkin mencerminkan preferensi penguasa baru, seperti yang diterapkan oleh junta," kata Paul Chambers, direktur riset dan pengajar di Institut Asia Tenggara yang berbasis di Chiang Mai.

Sebagai tambahan informasi, Marshall,  kelahiran Inggris merupakan mantan deputi editor Reuters yang mengundurkan diri tahun 2011 lalu menerbitkan sebuah publikasi online  tentang kerajaan Thailand berdasarkan 3.000 kabel diplomatik AS yang bocor.

Kepada CNBC  Marshall mengatakan, Raja Vajiralongkorn yang memerintahkan pelarangan terhadap Jeamteerasakul, Chachavalpongpun dan dirinya sendiri.

"Bahaya yang sebenarnya  datang dari raja baru, jauh lebih banyak daripada junta," kata Marshall. "Upaya untuk mengendalikan informasi sekarang yang paling menindas dan ekstrim yang pernah mereka lakukan di Thailand."

Marshall mengatakan, dia mulai menentang undang-undang lese-majeste  karena dia yakin, "Orang Thailand pantas mengetahui kebenaran tentang sejarah dan politik mereka."

Adapun Chachavalpongpun adalah seorang profesor di Universitas Kyoto yang mengajukan status pengungsi di  Jepang setelah keluarnya surat perintah penangkapan dirinya di Thailand . 

Chachavalpongpun mengatakan, Thailand telah meningkatkan absolutisme setelah suksesi kerajaan tahun lalu, dan membuat menguatnya tingkat ketidakpuasan publik .

"Situasi tidak membaik saat raja baru itu sendiri ingin bermain politik. Keinginannya hanya meningkatkan kepercayaan militer dalam tindakan keras terhadap kritikus," katanya.

Salah satu indikaor yang menunjukkan Thailand menuju apa yang oleh Human Rights Watch disebut sebagai kediktatoran adalah penghapusan sebuah plakat peringatan yang menandai lahirnya demokrasi pada tahun 1932.

Plakat yang menjadi tanda perayaan Revolusi Siam yang menghapuskan monarki absolut tujuh abad, telah dihilangkan dari sebuah lapangan di pusat kota Bangkok.

Seperti dilaporkan Reuters 15 April, plakat itu telah diganti dengan plakat baru tentang pentingnya monarki. Menurut Marshall, Junta menahan siapapun Yang mengajukan pertanyaan tentang hal itu.

Meskipun tidak satu pun perubahan tersebut telah mempengaruhi ekonomi domestik Thailand ISEAA  Chambers mengatakan, "persaingan usaha bebas pada akhirnya dapat menjadi korban munculnya absolutisme baru."

Pemilu yang tadinya akan digelar tahun ini, dimundurkan menjadi akhir 2018 Namun tidak jelas apakah pemilu akan membawa banyak perubahan.

"Karena isi dalam konstitusi baru, kita tidak akan memiliki pemerintahan yang benar-benar demokratis. Pemerintahan baru, jika sipil, akan lemah dan rentan, membiarkan dirinya didominasi oleh pendirian lama," kata Chachavalpongpun.



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×