Sumber: CNBC | Editor: Mesti Sinaga
Banyak orang percaya bahwa Raja Maha Vajiralongkorn, yang mengambil alih takhta pada Desember lalu setelah kematian ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej, memainkan peran kunci di balik sikap otokratis Bangkok yang meningkat.
Media internasional telah banyak menggambarkan mantan pangeran mahkota itu sebagai playboy yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri.
Sebelum menandatangani konstitusi baru pada tanggal 6 April 2017, Raja Vajiralongkorn membuat beberapa perubahan yang diyakini para analis bertujuan meningkatkan kekuatan kerajaannya, seperti menjadikan raja sebagai penengah utama pada saat terjadi pergolakan konstitusional.
Hal itu, secara legal menempatkan raja di garis depan perselisihan politik potensial, yang memang kerap terjadi Thailand. Menurut Joshua Kurlantzick, Anggota Senior Southeast Asia di Council of Foreign Relations, hal itu juga menetapkan panggung bagi monarki untuk campur tangan dalam politik.
Sayangnya pemerintah Thailand tidak menanggapi permintaan CNBC untuk memberikan komentar.
"Kenyataan baru di Thailand adalah langkah menuju peningkatan absolutisme negara, yang mungkin mencerminkan preferensi penguasa baru, seperti yang diterapkan oleh junta," kata Paul Chambers, direktur riset dan pengajar di Institut Asia Tenggara yang berbasis di Chiang Mai.
Sebagai tambahan informasi, Marshall, kelahiran Inggris merupakan mantan deputi editor Reuters yang mengundurkan diri tahun 2011 lalu menerbitkan sebuah publikasi online tentang kerajaan Thailand berdasarkan 3.000 kabel diplomatik AS yang bocor.