Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tri Adi
KONTAN.CO.ID - Setelah lama bekerja pada perusahaan lain, Rubens Mello memutuskan kembali mengurus perusahaan keluarga warisan dari kakeknya, Cosan Limited. Awalnya, ia menolak untuk mengelola bisnis Cosan. Tetapi, saat paman tertuanya terkena stroke, Rubens tak kuasa menolak ajakan mengurus perusahaan keluarga itu. Tapi, ia mengajukan syarat yakni ia berhak mengelola Cosan dengan profesional. Belakangan ia malah membeli saham Cosan dari saudaranya.
Rubens Ometto Silveira Mello kini menjadi salah satu orang paling tajir di Brasil. Lewat kapal bisnis yang didirikan sang kakek, Cosan Limited, ia menjadi pemimpin di salah satu konglomerasi swasta terbesar di negara tersebut.
Meski Cosan mengibarkan namanya, namun di awal, Rubens justru membenci kondisi di perusahaan keluarga tersebut. Ia lebih memilih menentukan jalan hidup sendiri dan bekerja di perusahaan lain. Konglomerasi besar lain, Votorantim, menjadi tempatnya mengasah kemampuan bisnis di bawah bimbingan taipan Jose Ermirio de Moraes.
Sementara Cosan dijalankan keluarga besarnya seolah berjalan tanpa arah. Pasalnya tak ada orang yang benar-benar menjadi pemimpin di perusahaan tersebut. Perselisihan kerap terjadi karena kepentingan yang bertabrakan dari tiap anggota keluarga.
Hal ini pun membuat Cosan kesulitan berkembang. Pada tahun 1975, sebenarnya perusahaan tersebut punya minat pada produk sampingan dari pengolahan tebu, yakni etanol. Hal ini dengan melihat potensi pada pasar bahan bakar di negara tersebut.
Pemerintah Brasil pada saat itu meluncurkan program "Pro-Alcool" untuk mengurangi ketergantungan pada minyak asing. Maklum, sejumlah kejadian di dunia internasional membuat harga minyak jadi tak stabil. Seiring harga minyak yang melonjak, Pemerintah Brasil menaikkan investasi eksplorasi dan produksi minyak dari Petrobras, BUMN di bidang migas.
Lalu memperkenalkan subsidi dan potongan pajak untuk pabrik yang bersedia mengubah gula menjadi etanol. Kemudian pada tahun 1976, Brasil mulai mengharuskan semua bensin dicampur dengan etanol.
Saat itu, paman tertua dari Rubens sering meminta saran kepadanya. Bahkan ia pun meminta Rubens untuk kembali ke Cosan untuk memanfaatkan potensi bisnis tersebut. Karena ia sadar, Cosan membutuhkan seseorang yang punya jiwa profesional agar bisa bangkit. Tapi Rubens menolaknya dan memilih melanjutkan karier di Votorantim.
Hingga akhirnya pada tahun 1980, sang paman mengalami stroke. Saat diminta lagi untuk kembali ke Cosan, kali ini Rubens tak tega menolaknya. Namun bukan berarti dia datang tanpa persiapan. Terlebih dia sadar budaya yang ada di Cosan tidaklah sehat sehingga bisa menyulitkan perusahaan keluarga tersebut untuk bangkit.
Ia pun mengajukan kesepakatan sebagai syarat kembali ke Cosan. Diantaranya ia berhak menentukan tugas dan tanggung jawab serta membuat struktur pengelolaan perusahaan. Semuanya agar bisnis berjalan profesional.
Saat ia benar-benar kembali ke Cosan, ia mendapati kondisi perusahaan sangat berantakan dan menghawatirkan. Perusahaan tersebut terperosok dalam beban utang yang besar. Proses produksinya pun tidak efisien. Ditambah, keuntungan yang didapat cenderung makin menipis.
Ia sadar harus ada perubahan bisnis besar-besaran dalam pengelolaan Cosan. Pertama ia memutuskan memperpanjang musim tanam selama delapan bulan dengan menanam varietas tebu yang berbeda.
Meski kondisi keuangan sedang berantakan, namun Rubens yakin Cosan perlu ekspansi. Akhirnya ia pun membeli pabrik yang berada dekat dengan fasilitas produksi yang dimiliki Cosan. Langkah ini dilakukan karena Cosan perlu melakukan konsolidasi bisnis.
Upayanya untuk merestrukturisasi bisnis Cosan rupanya tak berjalan mulus. Sanak saudaranya terus merecoki dengan kepentingan masing-masing.
Jengah dengan hal ini, pada tahun 1990 Ruben memutuskan membeli saham yang dimiliki anggota keluarganya yang lain.
(Bersambung)