Penulis: Virdita Ratriani
Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang. Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia.
Sebagian besar para imigran Jawa ternyata memilih tetap tinggal di Suriname walaupun hubungan kontrak mereka dengan pemilik perkebunan telah berakhir. Mereka tetap tinggal dan bekerja di perkebunan itu sebagai pekerja bebas.
Bagi mereka, bekerja di perkebunan bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Mereka juga telah terbiasa berhubungan dengan para majikan Belanda yang bertahun-tahun menjajah Indonesia.
Kondisi seperti itu merupakan faktor pendorong para keturunan Jawa untuk bertahan. Mereka tidak terpengaruh oleh buruh India yang pada umumnya meninggalkan pekerjaan mereka, segera setelah masa kontraknya habis.
Baca Juga: Perluas akses pasar di Amerika Latin, Mendag kunjungi Argentina dan Chili
Namun, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak orang Jawa di Suriname yang beralih profesi menjadi buruh industri. Mereka berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton.
Akibatnya, daerah yang semula dikenal sebagai Distrik Jawa di Suriname karena mayoritas penduduknya keturunan Jawa, seperti Saramacca, Coronie dan Nickerie, semakin kekurangan tenaga buruh. Seiring berjalannya waktu, orang Jawa yang bertahan di Suriname bukan hanya jadi buruh melainkan juga jadi politisi bahkan menteri.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Suriname pada tahun 1975, banyak orang Jawa ikut ambil bagian dalam migrasi massal ke Belanda. Sekitar 15.000 orang Suriname pindah ke Belanda karena khawatir terhadap kemungkinan dominasi dan penindasan politis oleh golongan Kreol (Afros-Suriname).