kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Selain China, ASEAN juga disebut penyokong Korut


Selasa, 30 Mei 2017 / 13:43 WIB
Selain China, ASEAN juga disebut penyokong Korut


Sumber: CNBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

SINGAPURA. Korea Utara (Korut) memiliki banyak sumber untuk mendanai program senjata nuklirnya. Sebut saja dari jaringan obat-obatan, ekspor batubara, hingga kejahatan siber.

Mayoritas upaya pencegahan ujicoba rudal balistik Pyongyang lebih difokuskan pada sekutu lama mereka, yakni China. Tapi yang luput dari perhatian adalah minimnya peraturan di wilayah periferal seperti Afrika dan Asia Tenggara yang juga dinilai berkontribusi besar terhadap pendapatan Korea Utara.

Pada awal bulan ini, Washington mengingatkan para menteri dari Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) untuk memutus hubungan dengan Korut.

"Tapi sepertinya negara-negara ASEAN belum siap untuk mengabaikan Pyongyang, setidaknya belum," jelas Kent Boydston, research analyst Peterson Institute untuk Ekonomi Internasional.

Dia menambahkan, kecemasan negara-negara Asia Tenggara secara kolektif telah membantu Pyongyang terbang di bawah radar, mengisi pundi-pundi mereka, dan membantu perusahaan-perusahaan kriminal mereka sehingga bisa tetap beroperasi.

"Gambaran secara keseluruhan antara ASEAN dan Korut merupakan sebagian dari masalah. Memang, perdagangan Korut-ASEAN relatif kecil, tapi US$ 181 juta per tahun adalah sesuatu," kata Boydston.

Dia juga mengingatkan, fakta bahwa adanya hubungan dagang antara seluruh negara ASEAN -kecuali Brunei dan Filipina- dengan Korut juga menjadi masalah. Dia memperingatkan, agen-agen Korut hampir pasti mengambil bagian dalam beberapa tindakan non-diplomatik yang jahat.

"Sudah lama diketahui bahwa Korut menjalankan jaringan pelaku dan entitas jahat dari kedutaan besarnya di luar negeri. Hal inilah yang tengah dicoba untuk dibatasi lewat Resolusi 2321 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," tambahnya.

Berdasarkan catatan Boydston, meski tanpa adanya kedutaan, Manila masih menjadi partner dagang ketiga terbesar Pyongyang di 2016. Pada 2001 dan 2008, pihak berwenang Filipina menyita pengiriman besar, dan sindikat kejahatan internasional mengklaim pada 2013 telah menyimpan satu ton obat terlarang di negara kepulauan tersebut.

Sementara itu, undang-undang anti pencucian uang di Filipina dinilai relatif longgar. Hal ini terlihat pada kasus pencurian bank siber tahun 2016 di mana warga Korut diduga mentransfer US$ 81 juta dari Bank Sentral Bangladesh ke Manila.

"Dunia harus mengkhawatirkan hal-hal non-proliferasi dan perilaku kriminal lainnya terkait dengan hubungan Filipina-Korut, walaupun dalam sambungan telepon Presiden Donald Trump dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte bulan lalu, isu-isu spesifik ini tidak dibahas," urainya.

Hubungan Pyongyang dengan negara-negara Asia Tenggara menjadi berita utama dalam beberapa bulan terakhir menyusul terjadinya pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri Pimpinan Korut Kim Jong Un, di Malaysia. Berdasarkan hasil investigasi Reuters, ada indikasi agen-agen Korut di Kuala Lumpur menjalankan perusahaan peralatan militer yang bernama Glocom yang melanggar sanksi PBB.

Bahkan negara yang taat hukum, Singapura, terindikasi terlibat dalam industri bayangan Korut. Hal ini terungkap pada postingan Andrea Berger, senior research associate Middlebury Institute of International Studies di Monterey.

Berger menjelaskan, Peraturan di Singapura tidak memiliki klausul resolusi PBB spesifik yang melarang semua transaksi keuangan terkait senjata konvensional Korea Utara. Penuntutan keuangan proliferasi hanya dapat dilakukan dalam kasus saat dana secara langsung menyokong program nuklir Pyongyang, yang bertentangan dengan industri persenjataan yang lebih luas di negara tersebut.

Di 2013, sebuah kapal besar yang berisi perangkat keras (hardware) militer yang ditujukan untuk Pyongyang, termasuk jet tempur, roket anti-tank, dan sistem rudal permukaan-ke-udara. Kapal ini sempat dihentikan di Kanal Panama. Hasil investigasi mengindikasikan perusahaan asal Singapura membayar pengiriman barang tersebut senilai US$ 72.000.

Jaksa menuduh perusahaan tersebut memberikan kontribusi pada program pemusnah massal Korea Utara. Namun pengadilan Singapura memutuskan bahwa modalnya terkait dengan senjata militer, bukan senjata nuklir.

"Perdebatan seperti ini adalah contoh sempurna kebutuhan agar kita lebih memperhatikan kekurangan dunia internasional dalam menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Korea Utara," kata Berger.

Perusahaan pengirim tersebut akhirnya dinyatakan bersalah, yakni  menjalankan bisnis pengiriman uang tanpa izin dan dikenakan denda US$ 125.698 karena telah memfasilitasi senjata ke Pyongyang.




TERBARU

[X]
×