Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketegangan geopolitik yang meningkat, termasuk serangan Israel terhadap situs nuklir Iran, mempercepat proses suksesi pemimpin tertinggi Iran. Dua nama kini mencuat sebagai kandidat kuat menggantikan Ayatollah Ali Khamenei.
Seiring meningkatnya tekanan dari luar negeri dan usia Ayatollah Ali Khamenei yang kini mencapai 86 tahun, perencanaan suksesi di Iran memasuki fase krusial.
Menurut lima sumber yang memiliki akses ke proses internal tersebut, sebuah komite rahasia beranggotakan tiga orang—yang dibentuk oleh Khamenei sendiri dua tahun lalu—telah mempercepat proses identifikasi pengganti sang Pemimpin Tertinggi.
Percepatan ini terjadi pasca serangan udara Israel ke fasilitas nuklir Iran dan ancaman langsung terhadap nyawa Khamenei. Presiden AS Donald Trump bahkan menyatakan, “Kami tahu di mana 'Pemimpin Tertinggi' bersembunyi. Dia target yang mudah.”
Baca Juga: Israel Serang 6 Bandara Militer Iran, Hancurkan 15 Pesawat Tempur!
Khamenei dan keluarganya kini dilaporkan bersembunyi di lokasi rahasia, dijaga ketat oleh satuan elite Garda Revolusi, Vali-ye Amr.
Dua Kandidat Kuat: Mojtaba Khamenei vs Hassan Khomeini
Dalam diskusi internal, dua nama kini mencuat sebagai kandidat utama:
-
Mojtaba Khamenei, putra Khamenei, dikenal memiliki pandangan serupa dengan ayahnya—garis keras terhadap musuh dalam dan luar negeri. Ia memiliki pengaruh besar di balik layar meski belum pernah menjabat posisi resmi dalam pemerintahan.
-
Hassan Khomeini, cucu dari pendiri Republik Islam Ayatollah Ruhollah Khomeini, dikenal sebagai figur moderat yang dekat dengan faksi reformis. Ia dinilai lebih dapat diterima publik dan komunitas internasional, serta mampu membawa wajah baru Iran yang lebih terbuka.
Hassan Khomeini bahkan menyatakan kesiapannya untuk “hadir di garis depan mana pun yang dibutuhkan rakyat Iran,” hanya beberapa jam sebelum serangan AS terhadap Iran.
Meski Hassan Khomeini dihormati karena garis keturunannya dan dikenal luas publik, ia pernah diblokir oleh faksi garis keras saat mencalonkan diri sebagai anggota Majelis Ahli pada 2016. Namun demikian, banyak kalangan menilai ia lebih "dapat diterima" oleh rakyat Iran, yang kini tengah menghadapi krisis ketidakpuasan sosial akibat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Sebaliknya, Mojtaba Khamenei dinilai sebagai simbol kesinambungan rezim, meski publik Iran khawatir suksesi dinasti akan mencerminkan kembalinya sistem monarki yang pernah ditumbangkan dalam Revolusi 1979.
Baca Juga: Pentagon Bongkar Misi Rahasia Serangan ke Iran: Jet Siluman Tembus Tanpa Terdeteksi!
Tantangan Besar: Transisi di Tengah Perang dan Ketidakpastian
Situasi semakin rumit karena beberapa tokoh yang sempat disebut-sebut sebagai kandidat potensial telah wafat, termasuk mantan Presiden Ebrahim Raisi dan mantan Ketua Kehakiman Mahmoud Hashemi Shahroudi. Sementara tokoh seperti Ayatollah Alireza Arafi mulai tersisih dari bursa utama.
Konflik bersenjata yang terus berlangsung, serta tewasnya beberapa komandan Garda Revolusi dalam serangan Israel, memperbesar tantangan dalam pengamanan proses transisi kepemimpinan.
Ali Vaez dari International Crisis Group memperingatkan kemungkinan kemunculan tokoh tak dikenal sebagai "boneka" Garda Revolusi. “Mereka mungkin memilih kandidat yang tidak dikenal publik dan tidak akan memegang kekuasaan sebesar Ayatollah Khamenei,” ujarnya.
Masa Depan Republik Islam: Titik Balik Sejarah?
Peran Pemimpin Tertinggi di Iran sangat krusial—menjadi pemandu utama bagi presiden dan parlemen, serta simbol supremasi spiritual dan politik. Penunjukan pengganti Khamenei secara resmi akan dilakukan oleh Majelis Ahli, lembaga beranggotakan 88 ulama senior yang dipilih melalui pemilu nasional.
Analis politik Hossein Rassam menyatakan, “Apakah Republik Islam bertahan atau tidak, wajahnya akan sangat berbeda. Konteks keberadaannya telah berubah secara fundamental.” Ia menyebut Hassan Khomeini sebagai figur yang ideal untuk mendorong transisi bertahap.