Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - DUBAI. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menegaskan pada Sabtu bahwa Iran tidak akan tunduk pada tekanan untuk bernegosiasi.
Pernyataan ini muncul sehari setelah Presiden AS, Donald Trump, mengungkapkan bahwa ia telah mengirim surat kepada otoritas tertinggi Iran untuk mendorong perundingan terkait perjanjian nuklir.
Sikap Tegas Iran terhadap Tekanan Barat
Dalam sebuah wawancara dengan Fox Business, Trump menyatakan bahwa ada dua cara untuk menangani Iran: secara militer atau melalui kesepakatan yang mencegah Teheran memperoleh senjata nuklir. Namun, dalam pertemuan dengan pejabat tinggi Iran, Khamenei menuduh Washington memiliki agenda tersembunyi di balik dorongan untuk bernegosiasi.
Menurut laporan media pemerintah Iran, Khamenei menyatakan bahwa tujuan utama AS adalah "memaksakan ekspektasi mereka sendiri" terhadap Iran.
Baca Juga: Harga Bahan Pokok di Gaza Melonjak 100 Kali Lipat akibat Penutupan Perbatasan
"Desakan beberapa pemerintah yang suka menindas terhadap perundingan bukanlah untuk menyelesaikan masalah... Bagi mereka, perundingan adalah jalan untuk mengajukan tuntutan baru, bukan hanya soal nuklir Iran... Iran pasti tidak akan menerima ekspektasi mereka," ujar Khamenei, tanpa menyebut langsung nama Trump.
Sebagai tanggapan, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Brian Hughes, mengulangi pernyataan Trump bahwa Iran memiliki pilihan antara negosiasi atau tindakan militer.
"Kami berharap Rezim Iran mengutamakan rakyatnya dan kepentingan terbaik mereka dibandingkan dengan tindakan terorisme," ujar Hughes dalam sebuah pernyataan.
Kampanye "Tekanan Maksimal" dan Dampaknya terhadap Iran
Meskipun menyatakan keterbukaan terhadap perundingan, Trump kembali menerapkan strategi "tekanan maksimal" terhadap Iran, mirip dengan kebijakan yang ia jalankan pada masa jabatan pertamanya. Kebijakan ini bertujuan untuk mengisolasi Iran dari ekonomi global dan menekan ekspor minyaknya hingga nol.
Selama periode pertamanya sebagai presiden (2017-2021), Trump menarik AS dari perjanjian nuklir Iran 2015 yang melibatkan kekuatan besar dunia. Perjanjian tersebut sebelumnya telah menetapkan batas ketat terhadap aktivitas nuklir Teheran dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.
Namun, setelah AS menarik diri pada 2018 dan kembali memberlakukan sanksi, Iran membalas dengan melampaui batas-batas yang ditetapkan dalam kesepakatan tersebut.
Kepala pengawas nuklir PBB, Rafael Grossi, telah memperingatkan bahwa waktu semakin menipis bagi jalur diplomatik untuk memberlakukan kembali pembatasan terhadap program nuklir Iran.
Saat ini, Teheran terus mempercepat pengayaan uranium hingga mendekati tingkat yang dapat digunakan untuk senjata nuklir. Meski demikian, Iran bersikeras bahwa program nuklirnya hanya bertujuan untuk tujuan damai.
Baca Juga: Sedikitnya 14 Tewas, 37 Terluka dalam Serangan Rudal Rusia di Ukraina
Penolakan Iran terhadap Tuntutan Baru dari AS
Khamenei, sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam kebijakan utama Iran, menegaskan bahwa Iran tidak memiliki pilihan lain selain menolak pemaksaan dan intimidasi dari pihak luar.
"Mereka mengajukan tuntutan baru yang jelas tidak akan diterima oleh Iran, seperti kemampuan pertahanan kami, jangkauan rudal, dan pengaruh internasional kami," katanya.
Iran berulang kali menyatakan bahwa program rudal balistiknya murni untuk tujuan pertahanan. Namun, negara-negara Barat menganggapnya sebagai faktor destabilisasi di kawasan Timur Tengah yang penuh konflik.
Dalam beberapa bulan terakhir, Iran terus memperkuat persenjataannya, termasuk mengumumkan penambahan kapal induk drone pertama dan pangkalan angkatan laut bawah tanahnya di tengah meningkatnya ketegangan dengan AS dan Israel.