Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
Gugat ke pengadilan
Beberapa mahasiswa mengaku takut untuk menceritakan kisah mereka melalui media. Menurut Profesor Berg, ada impunitas di kalangan majikan yang membuat mahasiswa asing memilih untuk diam.
"Siswa-siswa internasional ini jauh dari rumah, kebanyakan tinggal sendirian, tidak akrab dengan sistem hukum Australia sehingga, sayangnya, sangat rentan terhadap eksploitasi majikan."
Baca juga: Bagaimana pengobatan virus corona secara tradisional di China? Ini penjelasannya
Salah satu mahasiswa asing yang membawa kasusnya ke pengadilan adalah Jonathan, mahasiswa teknik sipil asal China. "Upah saya 6.000 dollar Australia belum dibayar menurut aturan tarif penalti," katanya kepada ABC.
Ia butuh waktu dua bulan sebelum akhirnya mendapatkan selisih kekurangan gajinya. Akan tetapi, mahasiswa lainnya, Jin, yang membawa kasusnya untuk diadili oleh komisi Fair Work Commission, masih berusaha mendapatkan tiga tahun kekurangan gajinya. "Jumlahnya sekitar 10.000 dollar Australia," kata Jin kepada ABC.
Ia bekerja untuk perusahaan promosi di toko bebas pajak di bandara Sydney. Kepada Fair Work, Jin mengaku melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja ritel yang dipekerjakan langsung oleh pengecer, tetapi bayarannya beda.
Namun, majikan Jin berdalih bahwa karyawan mereka tidak diatur oleh sistem gaji menurut tarif penalti. Fair Work juga sudah menyampaikan ke Jin bahwa mereka tidak dapat menyelidiki laporan Jin dan 16 karyawan lainnya.
Fair Work mengatakan perlu waktu berbulan-bulan untuk menentukan cakupan sistem penggajian tarif penalti, termasuk harus melakukan kunjungan lapangan dan wawancara. "Dalam situasi Covid saat ini, kami tidak dapat melakukan kunjungan lapangan atau wawancara. Juga perusahaan itu sudah ditutup dan mungkin tidak dibuka kembali di masa depan," demikian penggalan isi surat dari Fair Work.
Adapun mantan majikan Jin mengaku telah membayar stafnya itu sesuai dengan ketentuan hukum.