Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Selasa (15/4) memerintahkan penyelidikan terhadap potensi penerapan tarif atas seluruh impor mineral kritis.
Langkah ini menjadi sinyal eskalasi terbaru dalam perang dagang AS serta strategi langsung untuk menantang dominasi industri pertambangan China.
Melalui perintah eksekutif yang ditandatangani di Gedung Putih, Trump meminta Menteri Perdagangan Howard Lutnick untuk memulai investigasi atas dasar pertimbangan keamanan nasional, sesuai Section 232 dari Trade Expansion Act 1962.
Baca Juga: Dihantam Perang Dagang Trump, Ekspor Sorgum AS ke China Merosot
Pasal ini sebelumnya telah digunakan Trump untuk mengenakan tarif global atas baja dan aluminium pada masa jabatan pertamanya, serta untuk menyelidiki impor tembaga pada Februari lalu.
Investigasi kali ini akan mencakup berbagai mineral kritis seperti kobalt, nikel, dan 17 unsur tanah jarang (rare earth elements), serta uranium dan elemen penting lain yang ditetapkan oleh pejabat federal.
"Ketergantungan Amerika Serikat pada impor dan kerentanan rantai pasok menimbulkan potensi risiko terhadap keamanan nasional, kesiapan pertahanan, stabilitas harga, serta ketahanan ekonomi," tulis Trump dalam perintah eksekutif tersebut.
Saat ini, AS hanya memproduksi sebagian kecil dari kebutuhan lithium-nya, memiliki satu tambang nikel tanpa fasilitas smelter, dan tidak memiliki tambang atau pengolahan domestik untuk kobalt.
Baca Juga: Donald Trump Dikabarkan akan Umumkan Darurat Militer pada 20 April, Apa yang Terjadi?
Untuk tembaga, AS memiliki beberapa tambang, namun hanya dua smelter dan sangat bergantung pada negara lain untuk proses pemurniannya.
Langkah ini diambil menyusul pembatasan ekspor tanah jarang oleh China pada awal bulan ini, sebagai respons atas gelombang tarif yang diberlakukan oleh Trump.
Tanah jarang merupakan kelompok logam penting yang digunakan di sektor pertahanan, kendaraan listrik, energi terbarukan, dan industri teknologi. Meski AS memiliki satu tambang tanah jarang, sebagian besar proses pemurniannya masih dilakukan di China.
Pembatasan terbaru dari Beijing memperkuat kekhawatiran bahwa China tengah "menjadikan dominasi mineral kritis sebagai alat tekanan geopolitik."
Tahun lalu, China juga telah melarang ekspor tiga jenis logam ke AS dan membatasi pasokan beberapa elemen lainnya.
Baca Juga: Hati-Hati! China Punya Senjata Ampuh yang Bisa Hancurkan Ekonomi dan Pertahanan AS
Kondisi tersebut telah memicu seruan dari pelaku industri dan investor agar Washington mempercepat pengembangan proyek mineral kritis di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor.