Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - CHICAGO. Petani di wilayah Dataran Tinggi Amerika Serikat tengah menghadapi tekanan besar akibat meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap Negeri Tirai Bambu menyebabkan penurunan drastis ekspor sorgum, komoditas utama yang selama ini menjadi andalan pertanian Amerika untuk pasar Asia, khususnya Tiongkok.
Penurunan Tajam Ekspor Sorgum: Dampak Langsung Tarif Balasan Tiongkok
Hingga awal April, ekspor sorgum AS ke Tiongkok telah anjlok sebesar 95%, dari lebih dari 1,4 juta metrik ton pada Januari–Februari tahun lalu menjadi hanya 78.316 metrik ton di periode yang sama tahun ini. Menurut data pemerintah AS, hanya 244 metrik ton sorgum yang dibeli Tiongkok dalam pekan yang berakhir 3 April, setelah tiga minggu tanpa pembelian sama sekali.
Tiongkok, yang sebelumnya menyerap hampir 90% ekspor sorgum AS, telah memperketat tarif hingga 125% untuk komoditas ini, sebagai bentuk balasan atas tarif tambahan yang diberlakukan Washington. Dampaknya, permintaan pasar terbesar bagi sorgum AS pun hampir menghilang.
Baca Juga: Donald Trump Dikabarkan akan Umumkan Darurat Militer pada 20 April, Apa yang Terjadi?
Petani Dilema: Tetap Menanam atau Alih Tanaman?
Beberapa petani memilih menunda penanaman sorgum karena risiko pasar yang tidak pasti. Namun, bagi petani seperti Dan Atkisson di Kansas, keputusan tetap menanam adalah bagian dari strategi bertahan. Ia berencana menambah luasan tanam sorgum menjadi 1.000 hektar musim semi ini, naik 25% dari tahun lalu, sebagai bagian dari sistem rotasi tanaman.
Meskipun menghadapi pasar yang suram, sebagian petani melihat sorgum sebagai alternatif tahan kekeringan di tengah kondisi cuaca kering. Biaya benih yang lebih murah dibanding jagung juga menjadi pertimbangan.
Namun, banyak petani mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan perdagangan Trump. Beberapa bahkan menyatakan penyesalan atas dukungan politik sebelumnya, karena kebijakan tarif dianggap merusak pasar yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
“Kami membangun pasar selama bertahun-tahun, tapi bisa dihancurkan dalam satu atau dua hari oleh satu orang,” kata Don Bloss, petani dari Nebraska.
Lonjakan Stok dan Harga Murah: Masalah Baru di Gudang
Data Departemen Pertanian AS (USDA) menunjukkan bahwa stok sorgum di AS naik 42% menjadi 150 juta bushel per 1 Maret, akibat berkurangnya permintaan dari Tiongkok. Harga jual lokal pun tertekan, karena produksi berlebih harus dijual murah untuk bisa terserap pasar domestik, seperti bahan baku etanol atau pakan ternak.
“Kalau harganya cukup murah, pasti ada yang membeli. Tapi itu masalahnya — harga harus diturunkan drastis agar bisa dijual,” ungkap Atkisson.
Baca Juga: Hati-Hati! China Punya Senjata Ampuh yang Bisa Hancurkan Ekonomi dan Pertahanan AS
Proyeksi Suram dan Ketergantungan pada Bantuan Pemerintah
USDA memperkirakan total ekspor sorgum AS akan merosot sebesar 58% pada musim 2024–2025 menjadi 2,54 juta metrik ton, terendah sejak musim 2018–2019. Ini menambah beban sektor pertanian yang juga tertekan oleh harga komoditas yang rendah dan persaingan ketat dari Brasil dalam ekspor kedelai dan jagung.
Beberapa petani berharap bantuan finansial dari pemerintah dapat menutup kerugian ekspor. Namun, Menteri Pertanian AS Brooke Rollins menyebutkan bahwa rencana paket bantuan baru masih akan memakan waktu beberapa bulan untuk diumumkan.
Pergeseran ke Jagung dan Risiko Ketergantungan
Sementara sebagian petani tetap bertahan dengan sorgum, yang lain memilih beralih ke jagung, yang saat ini didukung oleh tingginya ekspor dan harga pasar yang lebih kuat. USDA memperkirakan penanaman jagung akan meningkat 5% pada tahun 2025, menjadi yang tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
“Dulu harga sorgum bisa menyamai atau melebihi jagung. Sekarang tidak lagi,” ujar Glenn Brunkow, petani dari Wamego, Kansas, yang kini memilih menanam jagung.