Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON/BEIJING. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melanjutkan pembicaraan di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan dan perselisihan mengenai mineral penting, dalam percakapan telepon yang jarang terjadi pada Kamis.
Dalam panggilan telepon yang berlangsung lebih dari satu jam, Xi meminta Trump untuk menghentikan kebijakan perdagangan yang dinilai mengguncang ekonomi global serta memperingatkannya agar tidak mengancam Taiwan, menurut ringkasan percakapan dari pemerintah China.
Sebaliknya, Trump menyatakan melalui media sosial bahwa pembicaraan tersebut sangat positif, dengan fokus utama pada isu perdagangan.
Baca Juga: Trump dan Xi Sepakati Pembicaraan Lanjutan untuk Menyelesaikan Sengketa Perdagangan
Ia mengumumkan akan ada diskusi lanjutan tingkat rendah antara AS dan China, serta menekankan bahwa "tidak boleh ada lagi pertanyaan mengenai kompleksitas produk tanah jarang." Kepada wartawan, Trump menambahkan, "Kami dalam kondisi yang sangat baik dengan Tiongkok dan kesepakatan perdagangan."
Kedua pemimpin juga saling mengundang untuk melakukan kunjungan ke negara masing-masing.
Panggilan telepon ini terjadi di tengah perselisihan yang semakin dalam antara Washington dan Beijing terkait ekspor mineral tanah jarang, yang mengancam gencatan senjata rapuh dalam perang dagang kedua negara. Namun, belum ada kejelasan apakah isu tersebut telah diselesaikan, berdasarkan pernyataan dari kedua pihak.
Trump menyatakan bahwa delegasi AS, yang terdiri dari Menteri Keuangan Scott Bessent, Menteri Perdagangan Howard Lutnick, dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer, akan segera bertemu dengan mitra China di lokasi yang belum ditentukan.
Baca Juga: Tarif Dibalas Tarif, AS-China Makin Panas
Sebelumnya, pada 12 Mei, kedua negara telah menyepakati gencatan 90 hari yang mencabut sebagian tarif tiga digit yang diberlakukan sejak Trump mulai menjabat.
Meskipun kesepakatan itu disambut baik pasar, banyak isu mendasar belum terselesaikan, termasuk perdagangan fentanil ilegal, status Taiwan yang demokratis, serta keluhan AS terhadap model ekonomi Tiongkok yang terpusat dan berorientasi ekspor.
Sejak kembali ke Gedung Putih pada Januari, Trump kerap mengancam tindakan ekonomi terhadap mitra dagang, namun beberapa kali mencabut ancaman tersebut pada saat-saat terakhir.
Pendekatan yang tidak konsisten ini membingungkan para pemimpin dunia dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis. Pada Kamis, indeks saham utama AS mengalami kenaikan.
Langkah China pada April lalu untuk menangguhkan ekspor berbagai mineral dan magnet penting terus mengganggu rantai pasokan global, termasuk bagi industri otomotif, produsen chip komputer, dan kontraktor militer.
Baca Juga: Trump dan PM Jepang Ishiba Bertemu di Tengah Ketegangan Perang Dagang dengan China
Beijing memandang ekspor mineral ini sebagai alat tawar politik untuk menekan pemerintahan Trump jika pertumbuhan ekonomi AS terganggu akibat terhentinya produksi berbasis mineral tersebut.
Kesepakatan 90 hari untuk mencabut tarif dan pembatasan masih dianggap rapuh. Trump menuduh Tiongkok melanggar kesepakatan tersebut dan memberlakukan pembatasan baru terhadap perangkat lunak desain chip dan produk lain yang dikirim ke China. Pemerintah Tiongkok membantah tuduhan tersebut dan mengancam akan melakukan pembalasan.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis oleh kantor berita pemerintah Xinhua, pemerintah China menyatakan, "Pihak AS harus bersikap realistis terhadap kemajuan yang telah dicapai dan menarik kembali tindakan negatif terhadap Tiongkok."
Xi juga menekankan bahwa Amerika Serikat harus menangani isu Taiwan dengan bijaksana.
Saingan Utama
Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir mengidentifikasi China sebagai pesaing geopolitik utama dan satu-satunya negara yang mampu menyaingi kekuatan ekonomi dan militer AS.
Meski demikian, Trump tetap memuji Xi, termasuk atas ketangguhan dan kemampuannya memimpin tanpa batasan masa jabatan, yang tidak dimiliki oleh presiden AS.
Trump telah lama mendorong diadakannya panggilan atau pertemuan dengan Xi, namun China enggan menyetujuinya karena lebih memilih menyusun rincian kesepakatan terlebih dahulu sebelum melibatkan para pemimpin. Bagi Trump dan timnya, pembicaraan antar pemimpin dianggap krusial untuk membuka jalan keluar dari kebuntuan negosiasi di tingkat bawah.
Baca Juga: Trump: Warga AS Bisa Merasakan Penderitaan Akibat Perang Dagang
Pemerintah China menyebut bahwa panggilan telepon tersebut dilakukan atas permintaan Trump. Tidak jelas kapan terakhir kali kedua pemimpin itu berbicara. Kedua belah pihak mengklaim telah melakukan pembicaraan pada 17 Januari, beberapa hari sebelum pelantikan Trump.
Namun, China menyatakan tidak ada panggilan telepon baru yang dilakukan sejak saat itu.
Pembicaraan ini diawasi ketat oleh para investor, mengingat kekhawatiran bahwa konflik dagang dapat mengganggu rantai pasok global menjelang musim belanja Natal. Tarif yang diberlakukan Trump juga sedang menjadi subjek gugatan hukum di pengadilan AS.
Trump dan Xi pernah bertemu dalam beberapa kesempatan, termasuk kunjungan kenegaraan pada 2017. Namun, mereka belum pernah bertatap muka secara langsung sejak pertemuan G20 di Osaka pada 2019.
Baca Juga: Harga Emas Tembus US$3.200 Jumat (11/4), Dolar Lesu di Tengah Panas Perang Dagang
Xi terakhir kali mengunjungi AS pada November 2023 dalam pertemuan puncak dengan Presiden Joe Biden yang menghasilkan kesepakatan untuk melanjutkan komunikasi militer dan menekan produksi fentanil.