Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden China Xi Jinping menggelar pertemuan bersejarah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Beijing pada Selasa (2/9).
Pertemuan ini menandai momen pertama ketiga pemimpin yang kerap berseberangan dengan Barat tampil bersama, di tengah perang terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II.
Pertemuan Tingkat Tinggi di Beijing
Xi menjamu Putin untuk pembicaraan di Great Hall of the People, sebelum melanjutkan pertemuan di kediaman pribadinya. Xi menyebut Putin sebagai “sahabat lama”.
Baca Juga: Xi Kesampingkan Trump, Gelar Pertemuan dengan Putin dan Kim di Beijing
Beberapa jam kemudian, kereta lapis baja Kim Jong Un tiba di Beijing, disambut oleh pejabat tinggi China termasuk Menlu Wang Yi. Media Korea Utara mengonfirmasi kedatangan Kim dan menyebut ia menyampaikan terima kasih kepada Xi atas keramahannya.
Ketiga pemimpin dijadwalkan hadir dalam parade militer besar pada Rabu (3/9), di mana Xi akan memamerkan visinya tentang tatanan dunia baru di tengah terkikisnya aliansi Barat akibat kebijakan “America First” Presiden AS Donald Trump.
Aliansi Militer yang Mulai Terbentuk?
Analis menyoroti apakah pertemuan ini akan menghasilkan sinyal penguatan kerja sama pertahanan. Hal ini menyusul pakta pertahanan Rusia–Korea Utara yang diteken pada Juni 2024, serta indikasi kesepakatan serupa antara Beijing dan Pyongyang.
Jika terwujud, aliansi militer trilateral ini dapat mengubah kalkulasi strategis di kawasan Asia-Pasifik.
Bagi Trump, perkembangan ini menjadi pukulan politik. Presiden AS itu selama ini kerap menonjolkan kedekatannya dengan Xi, Putin, dan Kim sebagai bukti keberhasilan diplomasi pribadinya. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan konstelasi baru yang berpotensi melemahkan pengaruh AS.
Baca Juga: Bagaimana Cara Kim Jong Un Mengunjungi China? Ini Alat Transportasinya
Pesan Anti-Hegemoni dan Dinamika Ekonomi
Dalam pernyataan di forum negara-negara non-Barat sehari sebelumnya, Xi melontarkan sindiran terhadap Washington. Ia menegaskan, “Kita harus terus mengambil sikap tegas menentang hegemoni dan politik kekuasaan.”
Selain isu geopolitik, kerja sama energi turut menjadi agenda utama. Gazprom dan China National Petroleum Corporation menandatangani kesepakatan untuk meningkatkan pasokan gas, termasuk rencana pembangunan pipa baru yang dapat memasok energi ke China hingga 30 tahun ke depan.
Korea Utara di Panggung Multilateral
Bagi Kim Jong Un, parade ini menjadi ajang diplomasi multilateral terbesar yang pernah ia hadiri. Kehadirannya di sisi Xi dan Putin dipandang sebagai upaya memperoleh dukungan implisit terhadap status nuklir Korea Utara.
Sebelum berangkat ke China, Kim bahkan menyempatkan diri mengunjungi sebuah laboratorium rudal, sebagai simbol penguatan kapabilitas militernya.
Menurut intelijen Korea Selatan, lebih dari 15.000 tentara Korea Utara telah dikirim untuk mendukung perang Rusia di Ukraina, dengan sekitar 600 di antaranya tewas di wilayah Kursk. Pyongyang disebut tengah merencanakan pengiriman tambahan pasukan.
Menariknya, Kim dilaporkan membawa putrinya, Ju Ae, dalam perjalanan ini. Kehadiran Ju Ae di berbagai acara publik memicu spekulasi bahwa ia sedang dipersiapkan sebagai calon penerus kepemimpinan Korea Utara.
Baca Juga: China dan Rusia Tolak Langkah Eropa Memulihkan Sanksi terhadap Iran
Peringatan 80 Tahun Kemenangan Perang Dunia II
China menyiapkan parade “Hari Kemenangan” dengan sangat ketat, memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Lebih dari 50.000 penonton diperkirakan hadir untuk menyaksikan demonstrasi persenjataan mutakhir China.
Sebagai simbol perdamaian, pihak berwenang juga akan melepaskan lebih dari 80.000 merpati putih.
Pertemuan tiga pemimpin otoriter ini dipandang sebagai alarm bagi Barat, khususnya jika kolaborasi mereka berujung pada latihan militer bersama.
Aliansi semacam ini akan memperkuat posisi Rusia, China, dan Korea Utara sebagai blok kontra-Barat, sekaligus menantang dominasi AS dan sekutunya dalam urusan keamanan global.