Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON/TOKYO/BRUSSELS. Dalam 100 hari pertama masa jabatan keduanya, Presiden Donald Trump telah mengguncang tatanan dunia dengan serangkaian langkah radikal yang lebih ekstrem dibandingkan periode pertamanya.
Perang tarif global, pengurangan bantuan luar negeri AS, kritik keras terhadap NATO, pendekatan akomodatif terhadap Rusia, serta wacana aneksasi Greenland dan wilayah asing lainnya mencerminkan visi kebijakan luar negeri "America First" yang semakin konfrontatif.
Pernyataan dari tokoh-tokoh senior seperti Elliott Abrams dan Dennis Ross menunjukkan betapa dalamnya kekhawatiran terhadap perubahan kebijakan ini, yang tidak hanya berdampak pada sekutu-sekutu Amerika Serikat, tetapi juga pada struktur hubungan internasional yang dibangun sejak akhir Perang Dunia II.
Baca Juga: Zelensky dan Trump Bertemu di Basilika Santo Petrus Jelang Pemakaman Paus Fransiskus
Perang Tarif Global: Dampak Ekonomi dan Ketidakpastian Pasar
Trump telah meluncurkan perang tarif yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap berbagai negara, mengklaim bahwa mitra dagang telah "merugikan" Amerika selama puluhan tahun.
Kebijakan ini telah mengguncang pasar keuangan global, melemahkan nilai tukar dolar AS, memicu kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, serta meningkatkan risiko resesi global.
Meskipun Trump menggambarkan tarif ini sebagai "obat" yang diperlukan, tujuannya tetap ambigu dan menyebabkan instabilitas ekonomi global.
Kebijakan Terhadap Rusia dan Ukraina: Pergeseran Arah dan Ancaman Terhadap NATO
Trump hampir sepenuhnya membalikkan kebijakan AS terhadap invasi Rusia di Ukraina, bahkan sempat terlibat adu argumen sengit dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
Sikapnya yang lebih ramah terhadap Moskow, serta tekanan agar Kyiv menyerahkan wilayahnya, telah membuat sekutu Eropa resah, melemahkan solidaritas NATO, dan memberikan Rusia ruang untuk memperluas pengaruhnya.
Pernyataan keras Trump terhadap NATO, yang ia anggap hanya "menumpang" pada kekuatan AS, semakin memperburuk ketegangan transatlantik.
Baca Juga: Elon Musk Angkat Kaki dari Pemerintahan Donald Trump, Bagaimana Nasib DOGE?
Retorika Ekspansionis: Greenland, Panama, Kanada, dan Gaza
Trump telah menghidupkan kembali retorika ekspansionis yang jarang terdengar dari presiden modern AS. Wacana aneksasi Greenland sebagai bagian dari Amerika Serikat telah memicu kecaman dari Denmark. Ia juga menyatakan bahwa Kanada seharusnya menjadi negara bagian ke-51 dan mengancam untuk merebut kembali Terusan Panama.
Di Timur Tengah, Trump bahkan mengusulkan agar AS mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi kawasan wisata bergaya Riviera. Retorika ini memicu kecemasan bahwa prinsip kedaulatan negara, yang menjadi dasar hukum internasional modern, sedang dirusak oleh kekuatan utama dunia.
Reaksi Global: Adaptasi dan Penyesuaian
Di Eropa, Jerman dan Prancis meningkatkan anggaran pertahanan, mengurangi ketergantungan pada industri senjata AS, serta menyiapkan tarif balasan terhadap AS sambil memperdalam kerja sama ekonomi dengan Tiongkok.
Kanada berupaya memperkuat hubungan ekonomi dan keamanan dengan Eropa, mengurangi ketergantungan pada AS di tengah meningkatnya sentimen nasionalisme.
Di Asia Timur, Korea Selatan mempertimbangkan opsi pengembangan senjata nuklir sebagai jaminan pertahanan diri. Jepang terguncang oleh besarnya dampak tarif dan berupaya mengatur strategi baru menghadapi ketidakpastian kebijakan AS.
Baca Juga: Apple dan Meta Didenda Ratusan Juta Euro oleh Uni Eropa, Bakal Picu Kemarahan Trump?
Tiongkok memposisikan dirinya sebagai alternatif bagi negara-negara yang merasa ditekan oleh pendekatan perdagangan AS. Beijing juga mencoba mengisi kekosongan bantuan kemanusiaan yang ditinggalkan Washington.
Krisis Legitimasi: Dunia Tanpa Kepemimpinan AS
Para analis memperingatkan bahwa tatanan dunia berbasis hukum internasional dan kerja sama multilateral yang dibangun dengan susah payah kini berada di ambang kehancuran.
Tindakan Trump membuka peluang bagi kekuatan lain, seperti Tiongkok dan Rusia, untuk memperluas pengaruh global mereka. Kredibilitas AS sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia juga mengalami kemunduran, menyebabkan sekutu-sekutu tradisional mempertimbangkan kembali aliansi strategis mereka.