Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – WASHINGTON. Pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi visa terhadap pejabat Otoritas Palestina (PA) dan anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada Kamis (31/7/2025), dengan tuduhan telah merusak upaya perdamaian dengan Israel.
Langkah ini diambil di tengah meningkatnya gelombang pengakuan terhadap negara Palestina oleh sejumlah kekuatan Barat lainnya.
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa pihak-pihak yang menjadi target sanksi akan ditolak visanya untuk bepergian ke AS. Namun, tidak disebutkan secara spesifik siapa saja individu yang dimaksud.
Baca Juga: Daftar 147 Negara yang Telah Mengakui Kemerdekaan Palestina, Termasuk Indonesia
"Ini merupakan kepentingan keamanan nasional kami untuk memberikan konsekuensi dan meminta pertanggungjawaban PLO dan PA atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen serta tindakan yang merusak prospek perdamaian," tulis pernyataan resmi Departemen Luar Negeri AS.
Menurut pemerintah AS, kedua organisasi Palestina tersebut telah "menginternasionalisasi" konflik mereka dengan Israel, termasuk melalui jalur hukum di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), serta "terus mendukung terorisme".
Otoritas Palestina dan PLO selama ini dikenal sebagai representasi politik rakyat Palestina yang aktif mendorong pengakuan internasional terhadap kemerdekaan negara Palestina. Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari kedua pihak terkait sanksi tersebut.
Langkah AS ini muncul di tengah perbedaan pandangan diplomatik yang semakin tajam dengan tiga sekutu dari negara-negara G7.
Kanada menyatakan akan mendukung pengakuan negara Palestina dalam sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang.
Baca Juga: Trump Ancam Naikkan Tarif Dagang terhadap Kanada Imbas Sikap Pro-Palestina
Langkah serupa juga diisyaratkan oleh Prancis dan Inggris apabila perang di Gaza belum berakhir sebelum pertemuan tersebut.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump bersikap tegas menolak pengakuan terhadap Palestina, yang menurutnya akan memberi "imbalan" kepada kelompok militan Hamas.
Sejak kembali menjabat pada Januari lalu, Trump belum menyampaikan sikap resmi terkait solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel.
Israel pun mengecam langkah pengakuan Palestina oleh Kanada, Prancis, dan Inggris.
"Distorsi Moral"
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menyambut baik langkah AS. Dalam unggahan di platform X, Saar menyatakan, "Kami berterima kasih kepada Amerika Serikat atas kejelasan moralnya. Sanksi ini sekaligus membongkar distorsi moral dari negara-negara yang buru-buru mengakui negara Palestina virtual, sambil menutup mata terhadap dukungan terhadap terorisme dan hasutan kebencian."
Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, tidak memberikan penjelasan apakah sanksi ini merupakan tanggapan langsung terhadap langkah tiga negara G7 tersebut.
Baca Juga: Kanada Akan Akui Negara Palestina di PBB, Ikuti Jejak Prancis dan Inggris
Ia hanya mengatakan bahwa keputusan ini berdasarkan laporan dua kali setahun kepada Kongres mengenai kepatuhan Palestina terhadap komitmennya.
Belum diketahui secara pasti bagaimana larangan visa ini akan memengaruhi aktivitas diplomatik para pejabat Palestina di PBB.
Berdasarkan perjanjian markas besar PBB tahun 1947, AS seharusnya memberikan akses kepada diplomat asing ke markas besar PBB di New York, namun pengecualian bisa dilakukan atas alasan keamanan dan kebijakan luar negeri.
Pigott menyebutkan, ada kemungkinan pemberian pengecualian visa dalam kasus-kasus tertentu.
Sanksi ini diumumkan beberapa hari setelah konferensi internasional yang diselenggarakan Prancis dan Arab Saudi di PBB, yang bertujuan mendorong solusi dua negara. Baik AS maupun Israel tidak menghadiri pertemuan tersebut.
Pada hari yang sama, utusan khusus AS Steve Witkoff juga bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam upaya menyelamatkan negosiasi gencatan senjata di Gaza dan merespons krisis kemanusiaan yang terus memburuk di wilayah tersebut.
Baca Juga: Inggris Ancam Akui Negara Palestina Jika Israel Tak Hentikan Perang di Gaza
Perang di Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerbu Israel selatan dan menewaskan sekitar 1.200 orang serta menyandera 251 lainnya, menurut data pemerintah Israel.
Sebagai respons, serangan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 60.000 orang, sebagian besar warga sipil, menghancurkan sebagian besar infrastruktur wilayah itu, dan menyebabkan hampir seluruh penduduknya mengungsi, menurut otoritas kesehatan Gaza.