Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Setelah sempat kehilangan banyak wilayah, junta militer Myanmar tampaknya mulai melakukan comeback secara perlahan.
Pada 1 Oktober 2025 lalu, setelah lebih dari sebulan pertempuran, pasukan junta berhasil merebut kembali kota strategis Kyaukme dari kelompok pemberontak Ta’ang National Liberation Army (TNLA), yang sebelumnya merebut kota itu pada Juni 2024.
Kota Kyaukme terletak hanya beberapa jam dari bekas ibu kota Mandalay, di jalur transportasi utama menuju negara bagian Shan utara yang sebagian besar dikuasai oposisi, serta menuju perbatasan China.
Hubungan dengan China Menguat
Mengutip Foreign Policy, hubungan yang semakin erat dengan China membantu militer Myanmar untuk kembali bangkit.
Pada tahun 2023–2024, junta mengalami kekalahan besar dari Three Brotherhood Alliance, aliansi kelompok etnis bersenjata (EAO) yang termasuk TNLA di dalamnya.
China sebelumnya mendukung aliansi ini, namun sejak menengahi gencatan senjata pada Januari 2024, Beijing mulai menekan kedua pihak agar berhenti bertempur.
Baca Juga: Scamdemic Myanmar: China Vonis Mati 11 Anggota Mafia Penipuan Online
Kini China tampaknya menyimpulkan bahwa menjaga stabilitas Myanmar lebih penting, mungkin untuk menghindari krisis berkepanjangan seperti yang terjadi di Suriah.
Selain mendorong junta agar segera menggelar pemilu, China juga menjanjikan bantuan senilai US$ 3 miliar pada akhir 2024, menurut media pemerintah Myanmar.
China juga memasok senjata dan drone yang membantu pasukan junta merebut kembali sejumlah wilayah.
Pada April 2025, Beijing bahkan menekan Myanmar National Democratic Alliance Army (MNDAA) — salah satu anggota aliansi tersebut — untuk mengembalikan kota besar Lashio ke tangan militer.
Dukungan Internasional Mulai Datang
Berkat dukungan China, junta juga mulai keluar dari isolasi diplomatiknya.
Pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing, baru-baru ini menghadiri KTT Shanghai Cooperation Organisation di Tianjin, China.
Di sana ia bertemu dengan Presiden Xi Jinping, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Ia juga telah mengunjungi Thailand, Rusia, Belarus, dan Kazakhstan tahun ini.
Baca Juga: Myanmar Rogoh US$ 3 Juta per Tahun Demi Pulihkan Hubungan dengan Amerika Serikat
Rusia sejak lama menjadi mitra utama, terutama karena mendukung kudeta 2021 dan memasok senjata, terutama jet tempur.
Namun, pertemuan dengan Modi menjadi sorotan besar.
India selama ini bersikap pragmatis terhadap Myanmar, berfokus pada keamanan di sepanjang perbatasan yang rawan konflik, di mana India sendiri menghadapi kelompok separatis.
Modi kemudian menyebut Myanmar sebagai “pilar penting dalam kebijakan regional India”, dan menjanjikan kerja sama di bidang energi, keamanan, dan mineral langka (rare earths).
Media Myanmar bahkan mengklaim bahwa India akan mengirim pengamat untuk pemilu Myanmar Desember ini, meskipun banyak pihak menilai pemilu tersebut hanya formalitas belaka.
ASEAN Kehilangan Kendali, Barat Coba Ikut Campur
Pendekatan ASEAN yang mencoba menekan junta lewat isolasi diplomatik kini tampak gagal. Namun, tidak semua anggota ASEAN tampak keberatan.
Thailand, misalnya, menjadi pusat aktivitas pengungsi dan kelompok oposisi Myanmar, sekaligus memberi junta akses mata uang asing melalui perusahaan BUMN Thailand yang masih beroperasi di ladang gas Myanmar.
Sementara itu, Amerika Serikat mulai menunjukkan minat baru terhadap Myanmar, terutama karena kekayaan mineral langka (rare earths) di sana.
Tonton: Mayoritas Negara ASEAN Kena Tarif Trump 19%, Hanya Laos dan Myanmar Digetok Tarif 40%
Menurut Reuters, Wakil Presiden AS J.D. Vance bahkan mendiskusikan kemungkinan bekerja sama dengan Kachin Independence Army (KIA) untuk menyalurkan rare earths melalui India.
Beberapa pihak di pemerintahan AS disebut juga mempertimbangkan menjadi penengah perdamaian antara KIA dan junta sebagai bagian dari upaya membuka kembali hubungan diplomatik dengan Myanmar.