kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Begini modus pembobolan uang elektronik di China


Senin, 20 Januari 2020 / 20:32 WIB
Begini modus pembobolan uang elektronik di China
ILUSTRASI. Kejahatan melalui internet (Cyber Crime). KONTAN/Baihaki/16/03/2017


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Hanya dalam beberapa tahun, sistem pembayaran elektronik telah menjadi primadona di daratan China. Aplikasi super ini memungkinkan pengguna memanfaatkannya untuk melakukan hampir semua hal, mulai dari membayar pulsa hingga pemesanan tiket. Berkat kemudahan tersebut kini uang elektronik telah menggantikan uang tunai dan kartu kredit dalam lima tahun terakhir. 

Maka tak mengherankan, China menjadi negara tanpa uang tunai. Bayangkan saja, menurut perusahaan riset dan konsultasi, iResearch Consulting Group, menyebut nilai transaksi berbasis elektronik di China mencapai US$ 5,5 triliun atau sekitar setengah dari produk domestik bruto (PDB) negara itu pada 2016.

Baca Juga: Selain Thailand dan Jepang, virus pneumonia juga terdeteksi di Korea Selatan

Menariknya, pasar pembayaran elektronik di China didominasi oleh duopoli, WeChat milik Tencent dan Alipay dari Alibaba, keduanya memiliki pangsa pasar gabungan sekitar 90% dari total transaksi. Bukan tanpa sebab kedua platform pembayaran tersebut digemari penduduk negara tirai bambu ini.

Alasannya, mereka menerapkan metode pembayaran melalui kode QR.  Pelanggan cukup memindai barcode di aplikasi untuk mentransfer uang ke pedagang atau pihak lain sehingga proses transaksi jadi lebih cepat. Alhasil, metode pembayaran ini memberikan kenyamanan, kemudahan dan kecepatan bagi pelanggan. Bukan hanya itu saja, banyak pelanggan juga tergiur oleh tawaran menarik seperti poin reward serta potongan harga (cashback).

Tapi, seberapa amankah pembayaran transaksi secara tunai atau memindai kode QR? Jawabannya, tidak sepenuhnya aman, berbagai kemudahan yang elektronik telah mengekspos celah sistem keamanan uang elektronik. Beberapa tahun terakhir, para peretas mengambil celah untuk membobol data hingga uang pelanggan.

Dilansir dari Caixin Global (20/11/19), Mahkamah Agung China menyatakan, lebih dari separuh kasus penipuan berbasis daring melalui WeChat pada tahun 2018.  Menurut laporan tersebut, para terdakwa menyamar sebagai orang lain ketika melakukan penipuan siber. Pada tahun 2017, kasus penipuan siber menyumbang 7,67% dari semua kasus penipuan, dan pada 2018 proporsinya melonjak menjadi 17,61%.

Baca Juga: China mendesak Kanada membebaskan Eksekutif Huawei Meng Wanzhou

Dalam kasus penipuan siber, para terdakwa kebanyakan menyamar sebagai wanita atau kenalan korban. Hampir 20% dari kasus penipuan online dilakukan setelah mendapatkan data dan informasi pribadi korban. Lebih dari 40% kasus penipuan siber dilakukan oleh dua orang atau berkelompok, modus ini meningkat dari tahun ke tahun, lebih dari seperlima para terdakwa dihukum penjara lebih dari lima tahun.

Modus menjaring korban
Dilansir dari What’son Weibo (22/11/18), terdapat beberapa modus pembobolan uang elektronik di Tiongkok pada 2019 mulai dari menginfeksi ponsel cerdas dengan virus, hingga membiarkan orang secara sukarela menyerahkan informasi pribadi mereka. Peretas menemukan cara untuk menipu orang dari segala usia dan semua lapisan masyarakat. Maka itu, kemudahan layanan seperti WeChat dan Alipay hadir bukan tanpa risiko.

Menurut laporan tersebut, selama bertahun-tahun, peretas telah mengembangkan banyak cara untuk menipu orang serta mencuri uang dari WeChat atau Alipay. Dengan lebih dari 800 juta pengguna, WeChat adalah target yang menguntungkan bagi peretas. Misalnya saja, peretas akun berpura-pura menjadi teman atau anggota keluarga, dan meyakinkan orang lain untuk mengirimi mereka uang.

Modus pertama, dengan meretas akun. Para orang tua di China sering menjadi korban peretasan. Caranya, pelaku berpura-pura menjadi anak mereka. Peretas menggunakan akun anak-anak dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka perlu dana untuk membayar kursus serta kelas kuliah tambahan di universitas terkenal seperti Tsinghua atau Beijing.

Baca Juga: Hubungan membaik, Shinzo Abe sebut Korea Selatan tetangga paling penting

Setelah sukses mengelabui orang tua, pelaku kembali minta kiriman uang untuk membayar kegiatan kelas tambahan dengan mengirim kontak telepon guru yang bertanggung jawab di kelas. Tak cukup sampai situ. Pelaku terus kembali membuat orang tua membayar kebutuhan lainnya, seperti biaya layanan, biaya pendaftaran, dan yang lebih ekstrem, diminta mengikuti tautan untuk menyelesaikan pembayaran. Tautan tersebut berisikan virus yang memungkinkan peretas mengakses secara penuh akun WeChat korban.

Modus kedua, melalui penipuan suara. Penipuan kali ini sering dilakukan melalui WeChat.  Peretas mengumpulkan pesan suara seseorang dan kemudian berpura-pura menirukan suara orang lain kemudian membuat akun WeChat palsu yang merupakan salinan persis dari akun yang ditiru.

Mereka akan menghubungi anggota keluarga dan teman orang yang mereka tiru, dan meminta untuk meminjam uang. Karena suaranya terdengar sangat mirip, mereka sering mendapatkan kepercayaan orang dan membuat mereka mengirimkan uang. Contohnya saja, suara seorang pria muda ditiru dengan sangat baik sehingga para peretas mampu meyakinkan ibu si pria bahwa putranya diculik. Dalam kondisi panik, si ibu memindahkan uang tebusan yang diminta.

Modus ketiga, penipuan transaksi belanja secara daring. Kegiatan belanja ini tampaknya mudah dan nyaman tapi bukan tanpa bahaya. Justru belanja secara daring jauh lebih rentan tertipu karena begitu banyak pemesanan produk, sehingga cenderung percaya bahwa suatu paket adalah milik mereka bahkan jika belum pernah benar-benar memesannya.

Penipuan tersebut paling umum melalui cash on delivery. Kurir meminta korbannya untuk membayar setelah pengiriman tiba. Begitu barang sudah dibayarkan, korban menemukan paket tersebut sebenarnya kosong ketika kemasannya dibuka.

Dalam beberapa kasus, pelaku meminta pelanggan untuk menambahkan akun WeChat atau data pribadi untuk mendapatkan kompensasi kerugian jika barang cacat dan hilang. Pada langkah terakhir, mereka akan meminta mereka untuk memindai kode-QR, atau mengklik tautan, serta meminta transfer sedikit biaya layanan.

Baca Juga: Korea Selatan mengonfirmasi kasus pertama virus corona dari pengunjung Tiongkok

Setelah mereka mentransfer biayanya, sebuah virus akan dipasang di ponsel mereka, memungkinkan para peretas mengakses dompet WeChat mereka. Perusahaan pengiriman menyarankan pelanggan mereka untuk tidak menerima paket apa pun jika mereka tidak yakin telah benar-benar memesannya.

Modus keempat, transfer amplop Imlek. Kini tradisi pemberian amplop Imlek dapat ditransfer secara online. Melalui WeChat, orang-orang dapat mengirim uang di amplop tersebut kepada teman dekat dan saudara. Perusahaan sering menggunakan fitur ini sebagai alat pemasaran.

Namun, fitur ini sering dimanfaatkan penjahat di dunia maya. Para pelaku membuat grup pengiriman amplop Imlek, dan meminta orang lain bergabung serta menambah lebih banyak kontak jika ingin menerima uang ampau tersebut. Dalam beberapa menit, obrolan grup telah bertambah menjadi ratusan orang.

Dengan bertambahnya anggota, pemilik grup akan mendorong orang untuk menambahkan lebih banyak orang ke grup dengan terus mengirim amplop Imlek. Sementara itu, pemilik grup akan mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa mereka yang sudah membuka amplop terdaftar. Jika mereka tidak menambahkan sepuluh orang ke grup dalam waktu 30 menit, mereka akan dikeluarkan. Adapun mereka yang menambahkan 20 orang ke grup dalam waktu setengah jam, mereka akan mendapatkan uang lebih banyak lagi.

Baca Juga: Rencana Putin memperpanjang kekuasaan ditentang dengan demonstrasi

Dengan cara ini, orang akan terus menambahkan kontak ke grup palsu tersebut. Anggota grup tidak diperbolehkan berbicara dalam grup, sehingga mereka  juga tidak dapat saling memperingatkan akan bahaya bahwa amplop abal-abal itu akan benar-benar berubah menjadi kode QR. Pemilik grup akan memposting pesan yang mengatakan bahwa transaksinya melampaui batas transaksi hari itu dan bahwa jika orang ingin terus menerima uang, mereka harus memindai kode QR dan membayar satu yuan atau setara dengan Rp 1.992,10.

Mereka dijanjikan akan menerima sejumlah uang yang cukup banyak. Begitu orang-orang ini membayar satu yuan, akun mereka telah diretas melalui kode QR, dan menginstal virus ke akun WeChat mereka. Hal ini mengakibatkan saldo mereka di WeChat raib seketika.

Modus kelima, penipuan tiket lotre. Penipuan dimulai dengan korban menemukan tiket lotre yang sengaja ditempatkan di suatu tempat. Karena pemilik tiket lotre tidak dapat ditemukan, kebanyakan orang menemukan tiketnya kemudian menghubungi ke nomor telepon yang tertera pada tiket untuk mengetahui apakah tiket tersebut menang atau tidak.

Baca Juga: Menteri Luar Negeri Korea Utara dicopot? Benarkah?

Dan, tentu saja mereka diberitahu bahwa tiket yang ditemukan memang merupakan tiket pemenang hadiah. Karena orang-orang, pada titik ini, begitu bahagia dan antusias sehingga jadi tidak rasional. Melalui telepon, penipuan menginfokan kepada penemu tersebut bahwa hanya perlu membayar biaya tertentu sebelum menerima hadiah.

Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan meyakinkan korban untuk membayar pajak penghasilan sebelum menerima hadiah uang. Setelah pemenang yang beruntung membayar biaya penanganan atau pajak penghasilan melalui WeChat atau Alipay, koneksi akan terputus, dan tentu saja, korban tidak akan pernah mendapatkan hadiahnya. 



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×