Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Meski optimisme meningkat, sejumlah analis menilai risiko tetap ada.
“Kemungkinan hasil buruk demi pencitraan politik tidak besar, karena keduanya tak banyak mendapat keuntungan politik dari konfrontasi,” kata Thomas Christiansen, Chief Investment Officer di Union Bancaire Privée London.
“Jika melihat ini sebagai dilema tawanan, hasil yang rasional adalah mencapai semacam kesepakatan,” ucapnya.
Selain itu, Bank Sentral AS (Federal Reserve) juga diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga pekan ini, yang dapat memperkuat reli pasar.
Baca Juga: Bursa Asia Naik pada Selasa (29/4) Pagi, Pasar Menanti Rilis Data Ekonomi Pekan Ini
Namun dengan harga saham yang sudah di puncak, terutama di sektor kecerdasan buatan (AI), hasil kinerja emiten yang mengecewakan dapat menghapus optimisme tersebut.
“Pasar akan lebih sensitif terhadap kabar buruk daripada kabar baik,” kata Tracy Chen, Manajer Portofolio Global Fixed Income di Brandywine Global.
Menurut Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B. Riley Wealth, pasar saat ini berasumsi akan ada tarif timbal balik rata-rata 15% antara AS dan sebagian besar mitra dagangnya.
“Jika ada faktor yang mengubah asumsi itu secara negatif, risiko penurunan pasar akan meningkat,” ujarnya.
Baca Juga: Perang Dagang Trump, Gelombang Tarif Baru dan Ketidakpastian Global
Para investor juga belajar dari pengalaman sebelumnya. Setelah kesepakatan AS–Tiongkok di Jenewa pada Mei 2025, antusiasme pasar cepat mereda.
“AS dan Tiongkok punya sejarah negosiasi yang sering berakhir buntu meski sudah ada kesepakatan awal,” tulis Thierry Wizman, analis valas dan suku bunga global di Macquarie. “Kami memperkirakan euforia kali ini pun akan pudar.”













