Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Keuntungan dan Risiko
Analis menilai produsen mobil tradisional sulit membangun sistem EV yang gesit dan bisa cepat diperbarui karena struktur organisasi yang rumit. Di sinilah teknologi China masuk sebagai solusi.
“Ini solusi win-win yang cerdas,” kata Will Wang, General Manager Autodatas, konsultan otomotif asal Shanghai.
Namun, ada risiko besar di balik ketergantungan ini. Andy Palmer, mantan CEO Aston Martin, memperingatkan bahwa produsen global bisa kehilangan identitas jika terlalu lama bergantung pada teknologi pihak ketiga.
“Dalam jangka panjang, Anda hanya akan jadi retailer,” ujarnya.
Analis Oliver Wyman, Marco Santino, menambahkan: menggunakan teknologi China memang membuat produk lebih cepat masuk pasar, tetapi pabrikan harus tetap mencampurkan inovasi internal agar diferensiasi merek tetap terjaga.
Baca Juga: Daftar Top 7 Mobil Tercepat di Dunia Tahun 2025, Ada Hypercar Hingga EV
Dampak Lebih Luas
Selain untuk pabrikan mapan, ekspor teknologi EV asal China juga membuka peluang bagi negara berkembang membangun merek mobil nasionalnya.
Abu Dhabi, misalnya, lewat CYVN Holdings (investor Nio), mengembangkan mobil listrik premium berbasis teknologi Nio, bahkan memanfaatkan brand McLaren yang baru diakuisisinya.
Sementara itu, CATL, raksasa baterai China, meluncurkan Bedrock Chassis yang fleksibel dan bisa dipakai berbagai produsen.
Debutnya di Eropa lewat pameran IAA Mobility di Munich menegaskan ambisi global China.