kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dilema China dalam konflik panas Amerika Serikat versus Iran


Selasa, 07 Januari 2020 / 15:11 WIB
Dilema China dalam konflik panas Amerika Serikat versus Iran
ILUSTRASI. Prosesi pemakaman komandan militer Iran Qassem Soleimani dalam serangan udara Amerika Serikat (AS).


Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Tak seperti musuh Amerika Serikat (AS) lain, China memilih berhati-hati memberi komentar soal tewasnya komandan militer Iran Qassem Soleimani  dalam serangan udara Amerika Serikat (AS).

Menteri Luar Negeri Wang Yi mengatakan China "sangat prihatin" dengan tindakan itu dan menyebutnya "tidak dapat diterima,".

Ia tidak menggunakan kata-kata seperti "mengutuk" atau "mencela" seperti rekan-rekannya dari Iran dan Rusia.

Seperti dilansir Bloomberg, Wang mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif bahwa China akan "memainkan peran konstruktif" untuk membantu menjaga keamanan regional.

Baca Juga: Iran disebut berada di jalur pembuatan senjata nuklir, apa komentar Israel?

Dalam percakapan via telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, Wang  mengatakan semua pihak harus menegakkan hukum internasional.

Tanggapan Beijing yang lunak soal pembunuhan terhadap Soleimani ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih belum siap untuk bergabung dengan Rusia dalam mengambil peran yang lebih langsung dalam konflik yang mengakar di Timur Tengah.

Komentar itu konsisten dengan upaya Tiongkok di masa lalu untuk menghindari komitmen di wilayah yang mereka bisa berbenturan dengan AS dan sekutunya.

China sejauh ini tidak berbuat banyak untuk menangkal upaya Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan tekanan pada Iran, selain membela kesepakatan nuklir Iran dan mengkritik sanksi sepihak AS.

Baca Juga: Jenderal Iran dibunuh, Mahathir: Muslim harus bersatu

Senin (6/1), AS menuduh China berpihak dengan Rusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan terhadap kedutaan besar AS di Baghdad. Irak.

China seperti menghadapi dilema, terutama karena Presiden China Xi Jinping berusaha untuk membungkus kesepakatan perdagangan awal dengan Trump pada bulan ini.

Baca Juga: Tak cuma kekuatan militer, Iran bisa balas dendam ke Amerika lewat serangan siber

Sisi lain, China telah meningkatkan kerjasama militer dengan Rusia dan memperluas hubungan dengan Iran.

China juga bergantung pada Iran pesaing Arab Saudi sebagai pemasok top minyak asing.

“China terjebak dalam dilema di mana tidak ingin memprovokasi pemerintahan Trump, namun memiliki kemitraan strategis dengan Rusia dan memiliki kepentingan sendiri dipertaruhkan di Iran,” kata Shi Yinhong, penasihat kabinet China dan juga profesor hubungan internasional di Renmin University di Beijing.

“Saya berharap, pemerintah China untuk tetap nada ringan, menyerukan kedua belah pihak untuk menahan diri dari ketegangan yang meningkat,” imbuhnya seperti dikutip Bloomberg.

Baca Juga: Harga emas terkoreksi setelah melonjak karena ketegangan geopolitik Timur Tengah

China dan Rusia telah meningkatkan hubungan militer dalam beberapa tahun terakhir, melakukan latihan angkatan laut bersama setiap tahun dan koordinasi kebijakan keamanan di seluruh Asia melalui Organisasi Kerjasama Shanghai.

Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah bertemu lebih dari 30 kali sejak 2013. Xi menyebut rekannya dari Rusia itu kolega asing paling dekat.

Sedangkan Putin mengatakan Rusia-China kerjasama mencapai tingkat tinggi yang pernah terjadi sebelumnya.

Namun, mereka tidak mungkin untuk bergabung dalam konflik Timur Tengah. Meskipun para pejabat Cina telah berulang kali mengecam tindakan AS terhadap kepentingan perdagangan dan keamanannya sendiri, mereka telah memilih tanggapan yang lebih lunak terhadap perselisihan AS dengan mitra diplomatik China.

Baca Juga: Siang hari, harga emas terkoreksi seiring meredanya ketegangan geopolitik AS-Iran

Ian Bremmer, Presiden dan pendiri Grup Eurasia mengatakan kepada Bloomberg Television pada Senin (6/1), China memiliki tujuan berbeda dari Rusia di Timur Tengah. "Rusia sebenarnya menginginkan kekacauan. Tapi China menginginkan stabilitas,” kata Bremmer.

Cina telah secara dramatis mengurangi pembelian minyak Iran sejak AS mengakhiri keringanan sanksi tahun lalu. China hanya mengimpor kurang dari 548.000 ton minyak mentah pada November 2019 dibandingkan dengan lebih dari 3 juta ton pada April 2019.

China tetap menjadi pembeli minyak terbesar Iran. Namun China membeli minyak lima kali lebih banyak dari Arab Saudi dalam 11 bulan pertama tahun lalu.

Tidak jelas apa yang diperlukan untuk China untuk mengambil peran yang lebih tegas di Timur Tengah. Bulan lalu, China menjamu Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif di Beijing. China juga berpartisipasi dalam latihan bersama angkatan laut dengan Iran dan Rusia di Samudera Hindia dan Teluk Oman.

Baca Juga: Hubungan memanas, AS tolak visa Menlu Iran untuk hadiri acara PBB di New York




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×