Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Indonesia mesti menyusun skema distribusi vaksin Covid-19 dengan baik. Sebab beberapa negara yang sudah memulai distrbusi justru menuai kericuhan macam di Amerika Serikat yang tak memprioritaskan pemberian vaksin kepada pekerja medis maupun pasien positif.
Pekerja medis dan pasien positif pada rumah sakit di Massachusetts, New York, Arizona, California misalnya tak jadi prioritas pemberian vaksin. Sebaliknya, orang yang justru sehat maupun minim terkena eksposur dari pasien positif justru telah menerima vaksin.
“Ini merupakan tamparan keras buat kita," ujar Jennifer DeVincent suster di Mass General Brigham yang pernah membantu kelahiran seorang pasien positif Covid-19.
Baca Juga: Xi Jinping: Hubungan China-Rusia akan semakin kuat di tengah krisis
Skema distribusi di Mass General Brigham misalnya mewajibkan ara pekerja medisnya mendaftar di sebuah aplikasi untuk mendapat vaksin. Tiap orang kemudian dikelompokkan untuk memprioritaskan mereka yang paling berisiko, namun rencana tersebut justru dikelompokkan berdasarkan pangkat. Sementara para pekerja medis berpangkat rendah diminta untuk mengatur secara mandiri.
Sejak awal skema distribusi macam ini sejatinya memang bermasalah. Terlepas dari masalah teknis seperti aplikasi yang sering terganggu. Para pekerja medis juga tak punya banyak waktu untuk melakukan pendaftaran lantaran padatnya jam kerja. Pun saat ada luang, pendaftaran via aplikasi membludak sehingga terus mengalami kegagalan.
“Ini menjadi tak terkendali, mereka memiliki jam kerja paling lama justru kesulitan mendapatkan jadwal vaksin,” sambung DeVincent dikutip dari npr.org.
Frustasi DeVincent kemudian berubah menjadi kemarahan saat mengetahui bahwa para atasannya di level manajer, koordinator yang minim paparan pasien positif justru sudah mendapatkan jadwal vaksin.
Konteks ini justru dibantah oleh Direktur Medis IGD Mass General Bringham Paul Biddinger yang menjelaskan pekerja medis berpangkat tinggi tak serta merta memiliki kontak yang minim dengan pasien positif. Sebab mereka biasanya tak cuma bekerja di satu rumah sakit.
Baca Juga: Korea Utara uji coba rudal balistik antarbenua di awal Pemerintahan Joe Biden?
Ia juga menambahkan sistem pangkat sejatinya memang dibutuhkan buat rumah sakit yang memiliki lebih dari 80.000 pekerja.
“Saya cukup kecewa pekerja medis lain merasa ditinggalkan. Hal seperti ini memang cukup kompleks untuk menakar siapa bekerja dimana, karena ada beberapa staf di rumah sakit ini yang bekerja dengan tugas berbeda di rumah sakit lain,” ungkap Paul
Biddinger melanjutkan dari catatan rumah sakit, terhitung sedikit orang yang bukan prioritas telah mendapat jadwal. Jikapun ada terjadi sekadar karena kesalahpahaman. Pun ia bilang pihaknya berkomitmen untuk memperbaiki kinerja aplikasi pendaftaran.
Sayangnya hal semacam itu tak cuma terjadi di satu tempat. Di Maricopa County Arizona, Pemda yang telah memprioritaskan para pekerja medis untuk divaksin pertama juga kecolongan. Seorang dokter di sana mengaku penjadwalan vaksin yang mestinya terbatas buat kalangan medis justru dibuka untuk umum secara diam-diam.
Sementara di New York, seorang dokter yang sehari bisa melakukan tes terhadap sepuluh pasien diduga postif Covid-19 bahkan sampai kini belum mendapatkan jadwal vaksin. “Sangat menyedihkan, selama pandemi ini saya tak pernah merasa sangat dipinggirkan hingga saat ini,” ungkapnya.
Adapun seorang dokter di Northwell menjelaskan bahwa pihak rumah sakit bahkan tak memberikan informasi yang transparan. “Mereka cuma bilang tunggu giliranmu. Saat kamu sudah dijadwalkan, kamu akan mendapat vaksin,” sambungnya.
Baca Juga: Hindari penyebaran varian baru virus corona, Filipina perluas larangan perjalanan
Sementara ia justru sering menemukan misalnya seorang radiologis yang bahkan bisa bekerja dari rumah dan sama sekali tak pernah bertemu pasien positif sudah diberikan vaksin.
Namun ini kembali dibantah oleh Chief Quality Officer Northwell Mark Jarret yang menjelaskan bahwa indikator pemberian vaksin tak cuma diberikan kepada mereka yang paling banyak terpapar pasien positif.
“Misalnya sebuah rumah sakitnya dua radiologis, mengingat ada potensi efek samping kami tak akan memberikan vaksin kepada dua orang tersebut secara bersamaan. Kami memastikan tak akan melakukan vaksin terhadap satu unit dalam satu waktu,” ujarnya.
Jarrett memang mengaku sistem distribusi saat ini memang masih jauh dari kata sempurna. Sekaligus mengakui bahwa para garda terdepan yang melakukan kontak langsung dengan pasien positif memang cenderung mengalami peningkatan stress.