Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Kinerja ekonomi China menunjukkan pelemahan pada November 2025, dengan pertumbuhan produksi pabrik dan penjualan ritel berada di level terendah dalam lebih dari satu tahun.
Kondisi ini menambah tantangan bagi para pembuat kebijakan yang masih berupaya menjaga laju ekonomi terbesar kedua dunia senilai US$19 triliun tersebut.
Memudarnya subsidi tukar tambah konsumsi, krisis sektor properti yang berkepanjangan, serta investasi industri yang berisiko memperdalam tekanan deflasi membuat Beijing semakin bergantung pada ekspor sebagai penopang pertumbuhan.
Baca Juga: Taipan Media Hong Kong Jimmy Lai Divonis Bersalah, Terancam Penjara Seumur Hidup
Namun, strategi tersebut kian dipertanyakan seiring meningkatnya resistensi mitra dagang global terhadap surplus perdagangan China yang mencapai sekitar US$1 triliun, serta munculnya berbagai hambatan impor di sejumlah negara.
Data Biro Statistik Nasional (NBS) China yang dirilis Senin menunjukkan produksi industri tumbuh 4,8% secara tahunan (year-on-year) pada November.
Angka ini melambat dari 4,9% pada Oktober dan menjadi laju terlemah sejak Agustus 2024, sekaligus meleset dari perkiraan kenaikan 5,0% dalam jajak pendapat Reuters.
Sementara itu, penjualan ritel yang menjadi indikator utama konsumsi hanya tumbuh 1,3%, terendah sejak Desember 2022 ketika China mulai mencabut kebijakan nol-COVID.
Angka tersebut turun jauh dari pertumbuhan 2,9% pada Oktober dan berada di bawah proyeksi pasar sebesar 2,8%.
“Ekspor yang kuat membatasi kebutuhan untuk menggenjot permintaan domestik tahun ini, dan subsidi tukar tambah mulai kehilangan daya dorong,” ujar Xu Tianchen, ekonom senior Economist Intelligence Unit pada Senin (15/12/2025).
“Saya melihat para pembuat kebijakan kini mulai mengalihkan fokus ke 2026, karena target pertumbuhan sekitar 5% untuk tahun ini masih berada dalam jangkauan, sehingga dorongan stimulus tambahan menjadi kurang mendesak.”
Baca Juga: China Vanke Hadapi Risiko Default: Rapat Obligasi Kedua Kamis (18/12) Mendatang
Beijing Kehabisan Ide Baru
Sejumlah ekonom menilai ekonomi China telah melewati titik di mana stimulus tambahan dapat memberikan solusi efektif.
Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu mendesak Beijing untuk mempercepat reformasi struktural dan mengambil langkah lebih tegas di sektor properti, mengingat sekitar 70% kekayaan rumah tangga China terikat pada aset real estat.
Harga rumah baru di China kembali turun pada November, seiring melemahnya investasi properti dan penjualan rumah.
Tekanan tambahan terlihat dari penurunan penjualan mobil tahunan sebesar 8,5%, yang merupakan penurunan terdalam dalam 10 bulan terakhir.
Hal ini meredupkan harapan akan kebangkitan penjualan di akhir tahun, periode yang biasanya menjadi musim puncak bagi industri otomotif.
“Perekonomian melambat secara menyeluruh pada November, dan lemahnya penjualan ritel menjadi sorotan utama,” kata Zhang Zhiwei, kepala ekonom Pinpoint Asset Management.
Baca Juga: Pemilik Juventus Tolak Tawaran Akuisisi Tether Senilai Lebih dari €1 Miliar
“Kontraksi investasi dan penurunan pasar properti terus menekan kepercayaan konsumen.”
Bahkan festival belanja Singles’ Day yang tahun ini diperpanjang hingga lima minggu gagal memberikan dorongan signifikan terhadap konsumsi.
Investasi aset tetap tercatat menyusut 2,6% pada periode Januari–November dibandingkan periode yang sama tahun lalu, setelah turun 1,7% pada Januari–Oktober.
Angka ini lebih buruk dari ekspektasi ekonom yang memperkirakan penurunan 2,3%.
Tekanan Perdagangan Kian Besar
Penasihat pemerintah dan analis memperkirakan China masih akan membidik target pertumbuhan tahunan sekitar 5% pada tahun depan, seiring upaya memulai rencana pembangunan lima tahunan yang baru dengan fondasi kuat.
Namun, target tersebut dinilai tidak mudah dicapai. Bank Dunia dan IMF sama-sama memberikan proyeksi pertumbuhan yang lebih konservatif bagi ekonomi China ke depan.
Baca Juga: Mata Uang Asia Bergerak Terbatas Senin (15/12) Pagi, Dolar Taiwan Paling Loyo
Dalam pertemuan ekonomi penting pekan lalu yang membahas agenda kebijakan 2026, para pemimpin China berjanji mempertahankan kebijakan fiskal yang “proaktif” guna mendorong konsumsi dan investasi.
Meski demikian, mereka juga mengakui adanya kontradiksi yang “menonjol” antara pasokan domestik yang kuat dan permintaan yang lemah.
Fokus ganda pada konsumsi dan investasi tersebut memperkuat kekhawatiran bahwa Beijing belum sepenuhnya siap meninggalkan model ekonomi berbasis produksi dan beralih ke model yang lebih bertumpu pada belanja rumah tangga.
Di tingkat global, semakin banyak negara yang bersiap membatasi laju ekspor China.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, dalam kunjungannya ke China, mengancam akan mengenakan tarif dan mendesak Beijing memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan global yang dinilainya “tidak berkelanjutan”.
Meksiko pekan lalu juga menyetujui kenaikan tarif hingga 50% mulai tahun depan terhadap impor dari China dan sejumlah negara Asia lainnya, guna melindungi industri dalam negeri.
Baca Juga: Krisis Properti China Berlanjut, Harga Rumah Turun di Semua Tier Kota di November
“Pembangunan ekonomi China masih menghadapi banyak tantangan lama maupun baru,” demikian pernyataan resmi hasil Konferensi Kerja Ekonomi Pusat.
“Kami harus memperkuat kemampuan internal untuk menghadapi tantangan eksternal.”













