Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Impor China secara tak terduga menyusut selama periode Januari-Februari 2025. Sementara ekspor kehilangan momentum karena meningkatnya tekanan tarif dari Amerika Serikat membayangi pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Dua bulan pertama tahun ini menjadi awal dari babak baru perang dagang AS-China, dengan Presiden AS Donald Trump memberlakukan tambahan tarif 10% pada barang-barang China, dengan alasan bahwa Beijing belum cukup menekan peredaran opioid mematikan, fentanyl.
Baca Juga: Diprotes Importir China, Dirjen Minerba Tegaskan Tak Ada Penundaan Penerapan HBA
Langkah ini menghentikan upaya para eksportir untuk mempercepat pengiriman sebelum pembatasan diterapkan. Sementara produksi juga melambat karena para pekerja China libur untuk perayaan Tahun Baru Imlek.
Para analis menilai anjloknya impor menandakan bahwa Beijing mulai mengurangi pembelian komoditas utama, sebagai persiapan menghadapi empat tahun lagi ketegangan dagang dengan pemerintahan Trump yang kedua.
“Penurunan impor terlihat pada komoditas seperti gandum, bijih besi, dan minyak mentah, yang kemungkinan berkaitan dengan strategi China dalam membangun cadangan strategis,” kata Xu Tianchen, ekonom senior di Economist Intelligence Unit.
“China mungkin telah mengimpor terlalu banyak dari komoditas-komoditas tersebut pada 2024 dan kini perlu mengurangi volume pembelian,” tambahnya.
“Hal ini terutama berlaku untuk bijih besi, karena produksi baja sudah melebihi kebutuhan ekonomi.”
Hingga saat ini, ekspor menjadi titik terang bagi ekonomi China yang tengah berjuang dengan lemahnya kepercayaan rumah tangga dan bisnis akibat krisis utang di sektor properti.
Baca Juga: China Menyatakan Siap Berperang dengan Amerika
Data bea cukai yang dirilis Jumat (7/3) menunjukkan bahwa impor turun 8,4% secara tahunan, jauh di bawah perkiraan kenaikan 1% dalam jajak pendapat Reuters terhadap para ekonom, serta lebih buruk dari kenaikan 1% pada Desember.
Ekspor dari negara manufaktur terbesar dunia hanya naik 2,3% dalam periode yang sama, jauh dari perkiraan kenaikan 5% dan melambat dari lonjakan 10,7% pada Desember.
China merilis data perdagangan gabungan Januari-Februari untuk menghindari distorsi akibat pergeseran waktu libur Tahun Baru Imlek, yang tahun ini jatuh antara 28 Januari hingga 4 Februari.
“(Perlambatan ekspor) mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya pengiriman barang lebih awal yang sempat meningkat akhir tahun lalu untuk menghindari dampak perang dagang,” kata Zhang Zhiwei, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management.
“Penurunan tajam impor bisa mencerminkan lemahnya permintaan domestik serta penurunan impor bahan baku untuk perdagangan pengolahan,” tambahnya.
“Dampak tarif AS yang lebih tinggi terhadap barang-barang China kemungkinan baru akan terlihat bulan depan.”
Baca Juga: China Isyaratkan Stimulus Tambahan Jika Pertumbuhan Melambat
Impor oleh perusahaan milik negara merosot 20,6% dibandingkan kenaikan 2,7% oleh perusahaan swasta, menurut data bea cukai, yang mengindikasikan bahwa importir komoditas terbesar dunia kini lebih mengandalkan stok cadangan, mengingat dominasi pembeli yang didukung negara.
Impor minyak mentah China turun 5% secara tahunan dalam dua bulan pertama 2025, akibat sanksi AS yang lebih ketat terhadap kapal pengangkut minyak Rusia dan Iran.
Sementara itu, impor logam tanah jarang anjlok 24,1% dan impor tembaga turun 7,2% dalam periode yang sama.
Impor bijih besi juga turun 8,4%, terhambat oleh gangguan cuaca di Australia, produsen utama komoditas ini.
Masalah yang Lebih Besar
Periode Januari-Februari berakhir dengan para produsen China bersiap menghadapi gelombang kedua tarif AS serta langkah balasan dari Beijing, yang akhirnya terjadi pada 4 Maret ketika Trump menggandakan tarif terhadap China menjadi 20%.
Sebagai respons, Beijing langsung memberlakukan tarif balasan sebesar 10%-15% terhadap ekspor pertanian AS dan memberlakukan pembatasan terhadap 25 perusahaan AS hanya beberapa menit setelah tarif Trump diberlakukan.
Para pembuat kebijakan China berjanji untuk memprioritaskan peningkatan konsumsi dan permintaan domestik pada 2025.
Baca Juga: China Temukan Harta Karun Energi Tak Terbatas, Cukup untuk Kebutuhan 60.000 Tahun!
Perdana Menteri China, Li Qiang, pada Rabu menyebut konsumsi dalam negeri sebagai "tidak mencukupi" dan "lemah" ketika mengumumkan target pertumbuhan ekonomi sekitar 5% untuk tahun ini.
“Impor kemungkinan tetap lemah tahun ini kecuali terjadi pemulihan konsumsi dan investasi swasta yang lebih kuat dari perkiraan,” kata Lynn Song, kepala ekonom untuk China Raya di ING.
“Setelah menjadi pendorong pertumbuhan pada 2024, lingkungan eksternal kemungkinan akan kurang mendukung tahun ini, yang menambah tekanan bagi para pembuat kebijakan untuk meningkatkan permintaan domestik guna mencapai target pertumbuhan 5%,” tambahnya.
Pejabat China pada Kamis (6/3) memberi sinyal kemungkinan pemotongan suku bunga lebih lanjut serta injeksi likuiditas ke dalam sistem keuangan melalui pengurangan rasio cadangan wajib bank.
Baca Juga: Perang Dagang dengan AS Memanas, China Beralih ke Negara-Negara Ini
Dengan lemahnya permintaan rumah tangga dan masalah di sektor properti yang membebani pertumbuhan, para pejabat China harus mencari pasar ekspor alternatif untuk sektor industrinya yang luas guna menghindari ancaman deflasi.
Indikator deflator PDB China diperkirakan berada di -0,1% pada 2025, negatif untuk tahun ketiga berturut-turut, yang akan menjadi periode deflasi terpanjang sejak kebijakan Lompatan Jauh ke Depan Mao Zedong pada awal 1960-an.