Sumber: Reuters | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Dalam setahun terakhir, jumlah restoran dan kafe asal China yang masuk ke Singapura melonjak tajam. Ini menjadikan negara kota ini sebagai tempat uji coba ekspansi global. Langkah ini dilakukan untuk menghindari lemahnya permintaan konsumen, persaingan harga yang ekstrem, serta margin keuntungan yang sangat tipis di dalam negeri.
Nama-nama terkenal seperti Luckin Coffee dan Mixue bergabung dengan berbagai operator restoran hotpot dan mala dalam gelombang ekspansi pascapandemi. Mereka berharap dapat memanfaatkan citra Singapura sebagai kota kosmopolitan untuk memperkuat merek secara global sebuah tren yang diyakini oleh para pelaku industri akan terus berkembang.
"Operasi di China saat ini sangat sulit, jadi banyak merek memilih ekspansi ke luar negeri," kata Josie Zhou, manajer umum internasional dari restoran masakan Hunan Nong Geng Ji, yang menjadikan Singapura sebagai tahap pertama ekspansi global mereka.
Baca Juga: Ekspor Tanah Jarang China Anjlok Tajam pada September
Menurut Joanna Jia, manajer Singapura untuk jaringan bubble tea ChaPanda, perang harga yang terus-menerus mendorong perusahaan makanan dan minuman China mencari model pertumbuhan baru di luar negeri. ChaPanda telah membuka dua kedai waralaba di Singapura sejak Juli dan berencana menambah dua lagi.
Pertumbuhan ekonomi di China terus melemah sejak berakhirnya lockdown Covid-19 hampir tiga tahun lalu. Krisis properti yang berkepanjangan serta tarif impor dari AS turut memperparah perang harga, tak hanya di sektor makanan dan minuman, tetapi juga e-commerce hingga otomotif semuanya mendorong tekanan deflasi yang berkepanjangan.
Dalam konteks ekspansi internasional, Singapura dianggap sebagai batu loncatan ideal oleh banyak perusahaan China karena kedekatan budaya dan posisinya yang strategis sebagai negara yang menjaga hubungan baik dengan berbagai ekonomi besar, termasuk China dan AS.
Data dari konsultan Momentum Works menunjukkan, hingga Agustus 2025 terdapat sekitar 85 merek makanan dan minuman China yang mengoperasikan sekitar 405 gerai di Singapura. Jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan Juni tahun lalu sebesar 32 merek dengan 184 gerai.
Ironisnya, pertumbuhan pesat ini terjadi di tengah tekanan yang juga dialami oleh operator lokal, dari kedai hawker murah hingga restoran berbintang Michelin yang bergulat dengan kenaikan biaya operasional dan menurunnya daya beli konsumen mirip dengan kondisi di China.
Pejabat dari merek-merek China menyatakan optimisme mereka terhadap pasar Singapura. Mereka mengandalkan model bisnis ramping dan manajemen rantai pasokan yang terbukti efektif bertahan di pasar domestik yang keras di mana tiga juta restoran gulung tikar tahun lalu.
Baca Juga: China Buru 18 Tentara Taiwan, Tawarkan Hadiah Uang untuk Informasi
"Contohnya, jaringan teh Chagee dapat menyiapkan teh susu dingin dengan takaran es dan gula yang dapat disesuaikan hanya dalam waktu delapan detik, berkat mesin otomatis buatan tim internal mereka," ujar Jonathan Ng, direktur urusan pemerintahan dan publik Chagee untuk wilayah Asia-Pasifik.
Model bisnis efisien inilah yang membantu merek seperti Luckin dan Mixue meredam dominasi pesaing Barat seperti Starbucks di pasar China. Data dari Euromonitor International menunjukkan, pangsa pasar Starbucks di China turun drastis dari 34% pada 2019 menjadi 14% pada 2024, dan kini perusahaan asal AS itu mempertimbangkan menjual sebagian operasinya di China.
"Pasar Singapura memang sulit, tapi pasar daratan lebih brutal dan mereka bisa bertahan," kata Erica Tay, ekonom Maybank Tiongkok.
Namun, kehadiran masif pemain besar China menuai kritik dari pengusaha lokal. Singapore Tenants United for Fairness, sebuah kelompok yang mewakili 700 pelaku usaha, dalam pernyataan di LinkedIn bulan Juni menyatakan perusahaan lokal kesulitan bersaing.
"Ketika sebuah UKM dari China bahkan lebih besar dari perusahaan besar lokal kita, jelas bahwa bisnis kecil kita tidak bermain di lapangan yang setara. Bahkan bisa dibilang, kita tidak berada di stadion yang sama," kata mereka.
Dengan populasi 6,1 juta yang mayoritas keturunan Tionghoa dan citra sebagai pusat mode dan kemewahan, Singapura dianggap sebagai tempat ideal untuk membangun merek global, menurut perwakilan sejumlah merek China.
"Jika kita bisa bangun brand di Singapura, maka kesadaran merek itu bisa menyebar ke Malaysia, Vietnam, bahkan Indonesia," ujar Joanna Jia dari ChaPanda.
Bahkan merek-merek kecil pun sering didukung investor bermodal besar, memungkinkan mereka memenangkan perebutan lokasi strategis. Restoran berbintang Michelin Yong Fu dari Shanghai, misalnya, masuk ke Singapura tahun lalu dengan investasi sekitar S$ 10 juta mencakup renovasi dan operasional selama lima tahun.
Pendiri Yong Fu, Ye Cheng Zhong, berencana membuka cabang di London akhir tahun ini, lalu menyusul New York dan Paris tahun depan.
Namun, menurut Ethan Hsu dari Knight Frank, masuknya investor besar China juga memicu kenaikan harga sewa, terutama di lokasi-lokasi ramai yang pasokan ruangnya terbatas.
Kritik juga datang dari pengamat kuliner ternama KF Seetoh, yang menyebut bahwa membanjirnya restoran China berpotensi mengencerkan karakter kuliner asli Singapura.
Meski demikian, gelombang ekspansi ini belum menunjukkan tanda-tanda melambat. Seperti kata Josie Zhou dari Nong Geng Ji. "Kompetisi di sini akan semakin sengit," ujar dia.