Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bayangkan sejenak: Anda tidak lagi mengeluarkan ponsel dari saku, tidak perlu menyentuh layar, tidak ada lagi notifikasi yang memaksa perhatian—karena semua itu kini hadir langsung di depan mata, melalui sepasang kacamata pintar.
Mengutip 3dvf, visi futuristik ini disampaikan oleh Mark Zuckerberg, CEO Meta, yang memprediksi bahwa smartphone akan tergantikan oleh kacamata pintar pada tahun 2030. Tetapi benarkah kita sedang menuju revolusi digital besar, atau hanya disuguhi ramalan teknologi yang terlalu ambisius?
Kacamata Pintar: Menyatukan Dunia Nyata dan Digital
Kacamata pintar bukan sekadar aksesori futuristik. Mereka menjanjikan integrasi menyeluruh antara dunia fisik dan digital melalui teknologi augmented reality (AR). Zuckerberg membayangkan perangkat yang memungkinkan:
-
Navigasi GPS langsung di pandangan mata,
-
Terjemahan waktu nyata saat Anda mendengar bahasa asing,
-
Identifikasi objek di lingkungan sekitar Anda,
-
Asisten virtual yang merespons perintah suara tanpa Anda perlu menyentuh layar.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Sebut Kacamata Bakal Jadi Platform Komputasi Utama Berikutnya
Kacamata ini disebut-sebut akan menawarkan pengalaman digital yang lebih alami, intuitif, dan minim gangguan. Alih-alih terisolasi dari lingkungan karena menatap layar, pengguna dapat tetap terhubung dengan dunia sekitar sambil mengakses informasi digital secara simultan.
Tantangan Besar: Kebiasaan, Kenyamanan, dan Estetika
Namun, transisi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perubahan kebiasaan pengguna merupakan salah satu tantangan utama. Smartphone telah menjadi bagian dari identitas dan keseharian kita. Menggantinya dengan perangkat yang dikenakan di wajah membutuhkan adopsi teknologi yang lebih dalam, bahkan mungkin perubahan gaya hidup.
Masalah kenyamanan juga muncul. Apakah kacamata pintar nyaman dikenakan seharian? Apakah akan kompatibel dengan kebutuhan orang yang sudah menggunakan kacamata koreksi? Belum lagi kekhawatiran estetika—tidak semua orang merasa percaya diri mengenakan perangkat elektronik di wajah mereka.
Realitas atau Ilusi Revolusi?
Alih-alih menggantikan smartphone secara menyeluruh, banyak pakar melihat potensi koeksistensi antara kedua perangkat:
-
Smartphone tetap unggul dalam pengetikan, konsumsi video, dan komunikasi visual.
-
Kacamata pintar berfungsi sebagai pelengkap saat mobilitas tinggi atau penggunaan AR diperlukan.
Dengan kata lain, kacamata pintar mungkin bukan pengganti mutlak, melainkan evolusi dalam ekosistem digital pribadi.
Baca Juga: Intip Gaya Liburan Mewah Mark Zuckerberg, Gunakan Dua Yacht dan Helikopter
Risiko Privasi dan Kesehatan Mental
Sementara potensi teknologinya menarik, ancaman di baliknya tidak kalah penting. Meta, perusahaan yang mempelopori pengembangan kacamata pintar, memiliki rekam jejak yang kontroversial dalam hal pengumpulan data pribadi.
Jika perangkat ini menjadi standar baru, maka potensi pelacakan lokasi, perilaku, bahkan pandangan mata pengguna akan meningkat drastis.
Di sisi lain, paparan data visual yang konstan juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Ketergantungan terhadap informasi real-time dapat memperburuk kecemasan, menurunkan kemampuan fokus, dan mengikis batas antara ruang digital dan kehidupan nyata.
Masa Depan: Transisi Bertahap atau Revolusi?
Walau Mark Zuckerberg optimis, kenyataannya transformasi ini akan membutuhkan waktu, regulasi, dan penerimaan publik yang lebih luas. Faktor seperti harga, kompatibilitas, daya tahan baterai, dan regulasi privasi akan menjadi penentu utama keberhasilan adopsi teknologi ini.
Jika kacamata pintar berhasil memasuki arus utama, kemungkinan besar akan melalui adopsi bertahap, dimulai dari kalangan profesional, teknolog, hingga akhirnya menjadi produk konsumen massal.