Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Amerika Serikat telah meningkatkan operasi militernya di perairan dekat China tahun ini karena risiko konfrontasi antara kedua negara terus meningkat.
Dilansir dari South China Morning Post, sejauh tahun ini pesawat dari angkatan bersenjata AS telah melakukan 39 penerbangan di atas Laut China Selatan, Laut China Timur, Laut Kuning, dan Selat Taiwan.
Baca Juga: China bantah 24 tuduhan Amerika Serikat soal penyebaran virus corona
Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dari jumlah yang dilakukan Amerika pada periode yang sama di tahun 2019.
Sementara itu, Angkatan Laut AS melakukan empat operasi navigasi bebas di Laut China Selatan dalam empat bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan hanya delapan aksi sepanjang tahun 2019.
Dengan operasi yang terbaru adalah pada 29 April, dengan kapal penjelajah berpeluru kendali rudal USS Bunker Hill berlayar melalui rantai Kepulauan Spratly. Pada hari Jumat, kapal tempur litoral USS Montgomery dan kapal kargo USNS Cesar Chavez juga dilaporkan beroperasi di Laut China Selatan.
“Pasukan kami terbang, berlayar, dan beroperasi di perairan internasional Laut China Selatan atas kebijakan kami dan sesuai dengan norma-norma kelautan dan hukum internasional, menunjukkan berbagai kemampuan angkatan laut yang kami miliki di Indo-Pasifik,” kata Fred Kacher Komandan Kelompok Serangan Ekspedisi 7.
Baca Juga: Kasus corona di Wuhan muncul lagi, pertama sejak awal bulan lalu
Sementara AS tidak memiliki klaim maritim baik di Laut China Timur atau Laut China Selatan, AS mempertahankan kehadiran militer yang kuat di wilayah tersebut untuk menunjukkan dukungannya kepada sekutu-sekutunya dan untuk melawan pembangunan fasilitas militer Cina dan sikap yang semakin agresif.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan dia ingin meningkatkan investasi militer di wilayah tersebut. "Ini adalah cara di mana Anda mempertahankan tingkat prediksi strategis untuk memastikan kesiapan pasukan Anda, tetapi mengumpulkan tingkat ketidakpastian operasional yang lebih tinggi," katanya.
Meskipun harus bertempur dengan wabah corona, baik China maupun AS tidak memperlambat aktivitas militer mereka.
Pesawat dari Tentara Pembebasan Rakyat telah terlihat setidaknya enam kali terbang di dekat wilayah udara Taiwan pada tahun ini, sementara kapal induk Liaoning terlihat dua kali bulan pada lalu di sekitar Taiwan.
Baca Juga: Punya 2,3 juta personel militer tapi nol kasus corona, klaim China diragukan
Timothy Heath, pakar keamanan dari think tank Rand Corporation di AS, mengatakan peningkatan aktivitas militer Amerika sebagian karena kegagalan upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik antara Beijing dan Washington.
"China telah menegaskan kepemilikannya atas ruang perairan internasional yang sangat penting bagi perdagangan global dan keamanan AS," katanya.
Untuk mendukung klaimnya, China meningkatkan kegiatan pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan, meningkatkan patroli dan penyebaran militernya dan memaksa negara-negara tetangganya untuk mematuhi tuntutan Beijing.
"Hal ini telah membuat AS tidak punya pilihan selain untuk meningkatkan kegiatan militernya di Laut China Selatan untuk mengirim pesan yang jelas bahwa Washington serius mempertahankan status internasional Laut China Selatan," kata dia.
Baca Juga: Kini giliran Laut China Timur yang memanas karena insiden China-Jepang
Heath juga mengatakan bahwa AS tidak mengantisipasi konflik militer dengan China yang kian maju. "AS selama bertahun-tahun tidak berinvestasi untuk membangun kekuatan yang mampu bersaing dengan militer berteknologi maju seperti PLA," katanya.
Sementara Song Zhongping, seorang komentator militer yang berbasis di Hong Kong, mengatakan konflik antara China dan AS melampaui lingkup militer. "Masalah Laut Taiwan dan Laut China Selatan adalah kepentingan utama China, dan AS mengeksploitasi hal itu untuk menekan Beijing dan membatasi perkembangannya," katanya.
"Ini akan menjadi konflik menyeluruh yang tidak hanya melibatkan bentrokan militer tetapi juga konflik di bidang lain seperti perdagangan, budaya, dan ideologi," sebutnya.