Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Dana Moneter Internasional (IMF) berharap agar pertumbuhan ekonomi global di tahun 2023 bisa stabil di kisaran 2,7%. Mereka mencatat bahwa ketakutan akan kenaikan harga minyak tidak terjadi, pasar tenaga kerja pun tetap kuat.
Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, pada hari Kamis (12/1) juga menyebut tahun 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi ekonomi global karena inflasi akan tetap menjadi ancaman.
Namun, Georgieva berharap tidak akan ada lagi penurunan di tahun berikutnya.
"Pertumbuhan terus melambat pada 2023. Gambaran yang lebih positif adalah ketahanan pasar tenaga kerja. Selama orang bekerja, meskipun harga tinggi, orang berbelanja, itu akan membantu kinerja pasar," kata Georgieva, seperti dikutip Reuters.
Bulan Oktober lalu IMF memperkirakan bahwa pertumbuhan global akan melambat menjadi 2,7% pada tahun 2023 setelah turun dari 6,0% di tahun 2021 dan 3,2% di tahun 2022.
Baca Juga: Bank Dunia Ramal Ekonomi Global Hanya Tumbuh 1,7% di 2023
IMF sebelumnya memperkirakan pertumbuhan 2,9% untuk tahun 2023, tapi Georgieva mengatakan dia tidak mengharapkan pemotongan prospek lebih lanjut.
Georgieva juga berharap China akan membantu mendorong pertumbuhan global mulai pertengahan tahun 2023. China sebelumnya menyumbang sekitar 35%-40% pertumbuhan global sebelum menunjukkan kinerja yang mengecewakan tahun lalu.
Meskipun demikian, Georgieva menyadari betul bahwa kondisi itu bergantung pada kebijakan pemerintah China dalam perangnya melawan Covid-19.
"Yang paling penting adalah agar China tetap berada di jalurnya dan tidak mundur dari itu. Perkembangan di China sangat mungkin menjadi satu-satunya faktor terpenting untuk pertumbuhan global," lanjutnya.
Baca Juga: Ramalan Terbaru IMF Soal Ekonomi Global, AS dan Jepang, Bagus atau Buruk?
Untuk raksasa ekonomi dunia lainnya, yaitu AS, Georgieva mengatakan AS kemungkinan besar akan mengalami soft landing dan hanya akan mengalami resesi ringan.
Dia juga menggarisbawahi kekhawatiran tentang meningkatnya kerusuhan sosial di Brazil, Peru dan negara-negara lain yang berdampak pada pengetatan kondisi keuangan masih belum jelas.
"Kita sekarang berada di dunia yang lebih rentan terhadap guncangan. Itulah inti dari tahun-tahun terakhir. Hal yang tak terpikirkan telah terjadi dua kali. Inflasi tetap membandel dan bank sentral harus terus menekan stabilitas harga," pungkasnya.