Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - SHENZEN. Industri rokok elektronik atau e-rokok di China tengah mengalami perlambatan. Mengutip artikel Reuters, Jumat (20/12) hal ini disebabkan oleh semakin ketatnya peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah China dan Amerika Serikat (AS) terkait aturan main e-rokok.
Alhasil, sejak Oktober 2019 lalu perusahaan e-rokok di China sudah memangkas sekitar 10% dari jumlah pekerja di sektor ini atau sekitar 50.000 orang menurut data Asosiasi Perdagangan.
Baca Juga: Saham perusahaan teknologi China melejit terdorong meredanya tensi perang dagang
Ai Weinuo, Sekretaris Komite Industri Rokok Elektronik mengatakan, perlambatan ini juga dipengaruhi oleh ketakutan dari media AS terkait dengan menghisap e-rokok alias vaping. Pasalnya, AS merupakan salah satu pasar e-rokok saat ini dan menjadi kiblat bisnis e-rokok di China sebagai produsen.
Masalahnya, di China pun, aturan pemerintah melarang untuk melakukan penjualan e-rokok secara daring. Hasilnya, pabrik-pabrik di kota Shenzen, China selatan, tempat sekitar 90% rokok elektronik dunia dibuat oleh 500.000 tenaga kerja, memperlambat produksi dan memangkas staf.
Penurunan terjadi setelah keberhasilan perusahaan e-rokok Juul di Amerika Serikat. Hal ini lantas mendorong banyak investor di China untuk mengalokasikan uangnya ke dalam perusahaan rintisan untuk membuat produk serupa dengan Juul.
Masalahnya, menurut Pengamat Industri, saat ini jumlah perusahaan rintisan ini sudah membludak dan membuat ketidakseimbangan dari sisi suplai dan permintaan.
Baca Juga: Saingi China dan Korea Utara, Jepang kerek anggaran militer ke rekor tertinggi
Ketua Asosiasi Ou Junbiao, pendiri dan produsen e-rokok Sigilei awal bulan ini mengatakan bahwa perusahaannya sudah memangkas sekitar 1.000 karyawan. Jumlah tersebut merupakan separuh dari total karyawannya.
Seorang pekerja di Shenzhen pun mengatakan bahwa perusahaan tempatnya bekerja Teslacigs menunda rencana perekrutan karyawan. Setelah sebelumnnya mengumumkan untuk merekrut lebih dari 400 orang.
Sementara pabrik lain yang memiliki 300 pekerja menyatakan, jumlah pesanan turun 30% sejak puncaknya di awal tahun ini. Manajemen pun terpaksa mempertimbangkan opsi PHK bila regulasi tak kunjung membaik.
Lee Chan, seorang investor di perusahaan modal ventura Autobot yang meneliti industri e-rokok China mengatakan beberapa produsen sedang mencoba menggeser persediaan berlebih dengan membuka toko offline. Namun, hal ini malah membuat mitra waralaba offline resmi.
Baca Juga: Kanada minta AS tidak teken pakta dagang dengan China, ada apa?
Merek yang lebih kecil dengan dukungan investor lebih memiliki sedikit opsi. Salah seorang manajer merek yang diluncurkan di tahun ini mengatakan, penjualan e-rokok turun 60% setelah penjualan online dilarang di bulan November 2019.
"Kami menginvestasikan banyak modal ke penjualan online sebagai inti dari strategi peluncuran kami," ujar Sumber Reuters. Ia mengatakan aturan baru terkait e-rokok mengacaukan banyak pemain baru di industri yang terbilang muda ini.