Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Jepang secara tak terduga terperosok ke dalam resesi pada akhir tahun lalu, menyebabkan kehilangan posisinya sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia.
Posisi Jepang kini digantikan Jerman sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.
Kondisi ini menimbulkan keraguan mengenai kapan bank sentral Jepang akan mulai mengakhiri kebijakan moneter ultra-longgar yang telah berlangsung selama satu dekade.
Beberapa analis memperingatkan kemungkinan terjadinya kontraksi ekonomi lagi pada kuartal ini karena permintaan yang lemah dari China, lesunya tingkat konsumsi, dan terhentinya produksi pada unit Toyota Motor Corp. Semua ini menunjukkan jalur yang sulit menuju pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Ekonomi Inggris Jatuh ke Dalam Resesi, Jadi Tantangan Berat Bagi Rishi Sunak
"Yang paling mencolok adalah lesunya tingkat konsumsi dan investasi modal, yang merupakan pilar utama permintaan domestik," kata Yoshiki Shinke, seorang ekonom senior di Dai-ichi Life Research Institute.
"Perekonomian akan terus kehilangan momentum untuk saat ini tanpa adanya pendorong utama pertumbuhan," ucapnya.
Data pemerintah menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang turun 0,4% secara tahunan pada periode Oktober-Desember, setelah mengalami penurunan sebesar 3,3% pada kuartal sebelumnya. Angka ini jauh dari perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1,4%. Kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai resesi teknis.
Meskipun banyak analis masih memperkirakan Bank of Japan akan secara bertahap menghentikan stimulus moneternya pada tahun ini, data yang lemah mungkin menimbulkan keraguan terhadap prediksi Bank of Japan bahwa kenaikan upah akan mendorong konsumsi dan menjaga inflasi tetap sekitar target 2%.
Baca Juga: Perekonomian Jepang Resmi Masuk Resesi
"Penurunan PDB dua kali berturut-turut dan penurunan permintaan domestik tiga kali berturut-turut adalah berita buruk, meskipun revisi angka dapat mengubah gambaran akhir," kata Stephan Angrick, seorang ekonom senior di Moody's Analytics.