Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Unjuk rasa mendesak diselenggarakannya pemilu darurat di Israel semakin intens terjadi. Publik umumnya kecewa dengan keputusan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang terus melancarkan serangan ke Gaza.
Di masa awal konflik, dukungan warga terhadap operasi militer Israel di Gaza memang sangat lantang. Namun, beberapa waktu terakhir semakin banyak warga Israel yang secara vokal menentang Netanyahu dan pemerintahannya.
Masyarakat juga meragukan kepemimpinan Netanyahu dan kemampuan militer yang hingga saat ini masih belum mampu menumpas Hamas dan membebaskan semua sandera.
Sebuah jajak pendapat baru terhadap pemilih Yahudi yang dilakukan oleh Israel Democracy Institute menemukan bahwa hanya 10% responden dari sayap kiri Israel percaya bahwa Israel telah sukses besar dalam menggulingkan Hamas.
Sementara itu, hanya 35% responden dari kalangan sayap kanan pro-Netanyahu yang percaya bahwa tentara Israel telah berhasil.
Baca Juga: Bantah Opini Israel, Uni Eropa Dukung Pembentukan Negara Palestina
Masyarakat Israel Terpecah
Pandangan umum masyarakat Israel berubah setelah lebih dari 100 hari perang di Gaza. Salah satu pemicunya adalah perpecahan dalam kepemimpinan PM Netanyahu yang terpolarisasi.
"Masyarakat Israel menemukan kembali kesukuan politiknya. Hal ini pada dasarnya membatasi proses pengambilan keputusan ketika Anda tidak menikmati kepercayaan publik," kata Nadav Eyal, pengamat dari surat kabar Israel, Yediot Ahronot.
Netanyahu saat ini masih memimpin koalisi yang tetap mempertahankan kekuasaan meski mendapat kritik.
Di kubu oposisi, Netanyahu dipandang mulai tidak memiliki visi yang jelas mengenai bagaimana Israel dapat keluar dari konflik di Gaza. Mereka yakin motivasi politik dan pribadi mengaburkan pengambilan keputusannya.
Para penentang Netanyahu merasa perdana menteri itu kini terikat pada para pendukung ultranasionalis di Parlemen, yang banyak di antaranya menyerukan pengusiran warga Palestina dari Gaza.
Bukan cuma itu, Netanyahu juga semakin kehilangan kepercayaan setelah adanya tuduhan korupsi yang menimpanya. Situasi ini menimbulkan persepsi bahwa Netanyahu menunda penyelesaian perang demi kepentingannya sendiri.
Baca Juga: Israel Ingin Sandera Dibebaskan, Tapi Tidak Ingin Perang Dihentikan
Netanyahu Mulai Diragukan Militernya
Serangan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 25.000 orang Palestina. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Situasi ini memicu bencana kemanusiaan karena meluasnya kerusakan dan pengungsian, serta terbatasnya persediaan makanan, air dan obat-obatan.
Netanyahu, yang dianggap telah mengabaikan pertanggungjawaban atas kegagalan militer dan intelijen Israel pada 7 Oktober 2023, masih percaya bahwa militer Israel bisa berjuang sampai mendapatkan kemenangan mutlak.
Namun, beberapa sandera telah tewas atau terbunuh di lokasi penahanan, termasuk tiga orang yang salah ditembak oleh pasukan Israel.
Eyal Ben Reuven, seorang jenderal tentara cadangan Israel, mengatakan bahwa perang berkepanjangan juga akan merugikan Israel. Pada akhirnya, akan ada banyak tentara Israel yang gugur di medan perang.
Baca Juga: Israel Akui Kekalahan Terburuk di Gaza
"Ketika perdana menteri mengatakan 'kemenangan mutlak', 'perang sampai tahun 2025', dia tahu bahwa jika itu yang terjadi, para sandera akan mati dan kembali dalam peti mati. Perang berkepanjangan di wilayah musuh bukanlah hal yang baik," kata Reuven, dikutip AP News.
Sekelompok 170 mantan komandan militer dan pejabat senior pertahanan lainnya awal bulan ini menandatangani surat yang menyerukan pemilihan umum segera dilakukan.
Beberapa dari komandan tersebut juga merupakan penentang keras perombakan struktur militer yang dilakukan Netanyahu.
Gerakan itu jelas menjadi sebuah indikasi bahwa perpecahan dalam masa perang ini akan segera memberikan dampak pada pemerintahan Israel, bahkan perubahan undang-undang.