Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JERUSALEM/CAIRO. Pada tanggal 19 Januari 2025, sebuah perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza akhirnya mulai berlaku, setelah mengalami penundaan hampir tiga jam.
Gencatan senjata ini terjadi setelah lebih dari 15 bulan pertempuran yang telah mengubah lanskap politik dan sosial di Timur Tengah.
Dengan latar belakang penghancuran yang meluas dan kerugian jiwa yang signifikan, gencatan senjata ini diharapkan bisa membuka jalan menuju penghentian perang yang penuh dampak bagi kedua belah pihak dan kawasan sekitarnya.
Penundaan Gencatan Senjata dan Alasan di Baliknya
Gencatan senjata ini semula dijadwalkan pada pukul 06:30 GMT namun terpaksa mundur hingga pukul 09:15 GMT. Penundaan tersebut terjadi karena Hamas gagal memberikan daftar nama tiga sandera yang akan dibebaskan pada hari itu, yang merupakan bagian dari kesepakatan.
Israel menanggapi penundaan ini dengan menyalahkan Hamas, sementara pihak Hamas menyebut penundaan itu disebabkan oleh "alasan teknis di lapangan", tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Baca Juga: Kabinet Keamanan Israel Rekomendasikan Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza
Konflik yang dimulai pada 7 Oktober 2023 setelah serangan mendalam Hamas terhadap Israel telah menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dan menyebabkan kehancuran besar-besaran di Gaza.
Israel merespons serangan ini dengan serangkaian serangan udara dan darat yang mengakibatkan hampir 47.000 orang Palestina tewas. Perang ini juga telah menarik perhatian dunia internasional, dengan ketegangan antara Israel dan Iran yang mendalam, mengingat Iran mendukung Hamas dan kelompok militan lainnya di kawasan tersebut.
Fase Pertama dari Gencatan Senjata: Pembebasan Sandera dan Tahanan
Perjanjian ini mencakup pembebasan 33 sandera dalam enam minggu pertama, yang terdiri dari wanita, anak-anak, serta individu dengan usia di atas 50 tahun dan yang sedang sakit.
Sebagai imbalannya, hampir 2.000 tahanan Palestina, termasuk mereka yang terlibat dalam serangan terhadap Israel, akan dibebaskan. Proses ini dilakukan melalui kerjasama dengan Palang Merah Internasional (ICRC) yang mengatur titik pertemuan untuk mengambil sandera yang akan dibebaskan.
Dalam dua jam setelah gencatan senjata dimulai, serangan udara dan tembakan artileri Israel masih dilanjutkan, meskipun Hamas mengklaim telah mengirimkan daftar nama sandera yang akan dibebaskan.
Baca Juga: Biden Meminta Netanyahu untuk Lebih Memperhatikan Rakyat Palestina
Keputusan ini memicu kecemasan akan berlanjutnya kekerasan meskipun ada gencatan senjata. Namun, beberapa laporan dari media pro-Hamas menyatakan bahwa pasukan Israel mulai mundur dari beberapa area di Gaza, seperti Rafah, yang berbatasan dengan Mesir.
Meskipun gencatan senjata ini diharapkan dapat memberikan jeda dalam kekerasan, masa depan Gaza tetap penuh ketidakpastian. Israel telah menyatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Hamas kembali berkuasa di Gaza, dan ada kemungkinan terbentuknya zona penyangga yang memungkinkan pasukan Israel bertindak bebas terhadap ancaman yang ada.
Peran Internasional dalam Mendukung Gencatan Senjata
Diplomasi internasional memainkan peran penting dalam tercapainya kesepakatan ini. Kedua negara besar, Amerika Serikat dan negara-negara Arab, bekerja sama melalui mediator dari Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat untuk memfasilitasi kesepakatan ini.
Pada saat yang sama, tekanan internasional terhadap Israel terkait dengan pertempuran yang menyebabkan banyak korban jiwa di Gaza meningkat, dengan beberapa pihak menyerukan agar Israel dihadapkan pada tuntutan internasional terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang.
Baca Juga: Iran: Gencatan Senjata Gaza adalah Kemenangan Besar bagi Perlawanan Palestina
Sementara gencatan senjata ini memberikan harapan bagi berakhirnya kekerasan, tantangan besar tetap ada di depan. Gaza yang hancur lebur membutuhkan bantuan internasional untuk rekonstruksi yang diperkirakan memerlukan waktu bertahun-tahun dan dana yang sangat besar.
Pengembalian pengungsi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak parah juga menjadi prioritas utama, meskipun kondisi politik yang tidak stabil tetap menjadi hambatan utama dalam mencapai perdamaian jangka panjang.