Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Ketergantungan dan Kerugian Finansial
Hampir 70% responden survei menyatakan fasilitas produksi luar negeri mereka sangat bergantung pada komponen dari China yang terkena aturan ekspor ini. Sementara itu, 50% perusahaan eksportir melaporkan bahwa pemasok atau pelanggan mereka memproduksi barang yang sudah atau akan segera terkena kontrol tersebut.
Perusahaan-perusahaan UE ini mengeluhkan proses aplikasi lisensi di Kementerian Perdagangan yang memakan waktu lebih lama dari janji 45 hari. Mereka juga mempermasalahkan kurangnya transparansi, persyaratan pembukaan data, serta kekhawatiran akan potensi pencurian kekayaan intelektual (IP).
Survei ini juga membeberkan contoh nyata dampak finansialnya (dengan nama perusahaan disamarkan). Satu perusahaan memperkirakan aturan ini akan menelan biaya hingga 20% dari pendapatan global mereka tahun ini, sementara perusahaan lain memprediksi kerugian lebih dari 250 juta euro (sekitar Rp 4,2 triliun).
Meski demikian, 56 dari 131 perusahaan Eropa yang menjawab survei mengatakan kontrol ekspor tersebut tidak berdampak pada mereka, yang menunjukkan bahwa beberapa sektor industri masih relatif aman dari badai ini.
Tonton: Penjualan Mobil LCGC Anjlok 34%, Sinyal Daya Beli Makin Melemah
Kesimpulan Utama
1. Eksodus Terselubung: Perang dagang AS-China membuat perusahaan Eropa menjadi "korban sampingan". Akibatnya, 1 dari 3 perusahaan Eropa mulai memindahkan rantai pasok mereka keluar dari China untuk menghindari risiko.
2. Senjata "Tanah Jarang": China menggunakan kontrol ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai senjata negosiasi melawan AS, namun hal ini justru memukul industri otomotif dan teknologi Eropa yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut.
3. Birokrasi yang Menghambat: Selain aturan yang ketat, perusahaan Eropa mengeluhkan lambatnya penerbitan lisensi ekspor dan risiko pencurian kekayaan intelektual (IP).
4. Dampak Finansial Masif: Kerugian yang dialami perusahaan sangat nyata, mulai dari tergerusnya 20% pendapatan global hingga potensi kerugian ratusan juta dolar.













