Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Semakin ketatnya aturan kontrol ekspor China memaksa perusahaan-perusahaan Eropa mencari alternatif rantai pasok baru di luar negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Langkah ini diambil sebagai upaya mencari perlindungan di tengah panasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Melansir Reuters, Kamar Dagang Uni Eropa di China mengungkapkan fakta mengejutkan pada hari Senin (1/12/2025): satu dari tiga perusahaan anggotanya kini berencana memindahkan sumber pasokan mereka keluar dari China akibat rezim kontrol ekspor Beijing.
Dalam survei cepat yang mereka lakukan, 40% responden mengeluhkan bahwa Kementerian Perdagangan China memproses lisensi ekspor jauh lebih lambat daripada janji awal mereka.
"Kontrol ekspor China telah meningkatkan ketidakpastian bagi bisnis Eropa yang beroperasi di sini. Perusahaan menghadapi risiko pelambatan produksi atau bahkan penghentian total operasional," ujar Jens Eskelund, Presiden Kamar Dagang tersebut. Ia menambahkan bahwa pembatasan ini "makin menekan sistem perdagangan global yang sebenarnya sudah sangat tertekan."
Sekitar 130 perusahaan berpartisipasi dalam survei ini, termasuk nama-nama besar seperti produsen otomotif Jerman (BMW dan Volkswagen), raksasa telekomunikasi Finlandia (Nokia), dan perusahaan migas Prancis (TotalEnergies).
Baca Juga: Omnicom PHK 4.000 Karyawan Pasca Akuisisi IPG US$13 Miliar
Trauma "Logam Tanah Jarang"
Beijing sempat mengejutkan AS pada Oktober lalu saat mengancam akan memperketat kontrol ekspor rare earth (logam tanah jarang). Langkah ini menegaskan kesiapan China menggunakan kekuatannya untuk menekan Washington dalam negosiasi dagang. Hal ini memicu kekhawatiran baru bagi perusahaan Eropa bahwa rantai pasok mereka bisa kembali kacau, persis seperti kejadian pembatasan serupa di bulan April.
Sebagai catatan, pembatasan bulan April lalu memaksa beberapa produsen mobil Uni Eropa menghentikan jalur produksi mereka. Kala itu, langkah Beijing menangguhkan ekspor berbagai logam tanah jarang dan magnet terkait, yang tampaknya ditujukan untuk menekan kontraktor militer dan produsen mobil AS, justru menyebabkan pasokan global mengering.
"Hasil survei ini penting karena menggambarkan situasi yang bertolak belakang dengan optimisme pasca-KTT Busan," ujar Alfredo Montufar-Helu, Managing Director di Ankura Consulting, merujuk pada jeda pembatasan ekspor baru yang sempat dinegosiasikan dalam pertemuan AS-China di Korea Selatan.
"Realitanya, kesepakatan itu belum hitam di atas putih: Washington dan Beijing masih memperdebatkan cakupan konsesi, sementara UE mendesak untuk dilibatkan. Implementasinya memakan waktu, dan di sela-sela waktu itu, rantai pasok global lah yang harus membayar harganya," tambahnya.
Baca Juga: Rusia Berlakukan Bebas Visa 30 Hari untuk Warga China, Balasan atas Kebijakan Beijing
Ketergantungan dan Kerugian Finansial
Hampir 70% responden survei menyatakan fasilitas produksi luar negeri mereka sangat bergantung pada komponen dari China yang terkena aturan ekspor ini. Sementara itu, 50% perusahaan eksportir melaporkan bahwa pemasok atau pelanggan mereka memproduksi barang yang sudah atau akan segera terkena kontrol tersebut.
Perusahaan-perusahaan UE ini mengeluhkan proses aplikasi lisensi di Kementerian Perdagangan yang memakan waktu lebih lama dari janji 45 hari. Mereka juga mempermasalahkan kurangnya transparansi, persyaratan pembukaan data, serta kekhawatiran akan potensi pencurian kekayaan intelektual (IP).
Survei ini juga membeberkan contoh nyata dampak finansialnya (dengan nama perusahaan disamarkan). Satu perusahaan memperkirakan aturan ini akan menelan biaya hingga 20% dari pendapatan global mereka tahun ini, sementara perusahaan lain memprediksi kerugian lebih dari 250 juta euro (sekitar Rp 4,2 triliun).
Meski demikian, 56 dari 131 perusahaan Eropa yang menjawab survei mengatakan kontrol ekspor tersebut tidak berdampak pada mereka, yang menunjukkan bahwa beberapa sektor industri masih relatif aman dari badai ini.
Tonton: Penjualan Mobil LCGC Anjlok 34%, Sinyal Daya Beli Makin Melemah
Kesimpulan Utama
1. Eksodus Terselubung: Perang dagang AS-China membuat perusahaan Eropa menjadi "korban sampingan". Akibatnya, 1 dari 3 perusahaan Eropa mulai memindahkan rantai pasok mereka keluar dari China untuk menghindari risiko.
2. Senjata "Tanah Jarang": China menggunakan kontrol ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai senjata negosiasi melawan AS, namun hal ini justru memukul industri otomotif dan teknologi Eropa yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut.
3. Birokrasi yang Menghambat: Selain aturan yang ketat, perusahaan Eropa mengeluhkan lambatnya penerbitan lisensi ekspor dan risiko pencurian kekayaan intelektual (IP).
4. Dampak Finansial Masif: Kerugian yang dialami perusahaan sangat nyata, mulai dari tergerusnya 20% pendapatan global hingga potensi kerugian ratusan juta dolar.













