Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA/SHANGHAI. Gelombang aksi jual dolar Amerika Serikat (AS) yang melanda Asia menjadi sinyal peringatan serius bagi greenback.
Negara-negara eksportir utama dunia mulai mempertanyakan tren lama untuk menginvestasikan surplus dagang mereka ke dalam aset-aset berbasis dolar AS.
Efek domino dari lonjakan tajam dolar Taiwan pada Jumat dan Senin lalu kini menyebar ke mata uang kawasan lain, termasuk dolar Singapura, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, yuan China, dan dolar Hong Kong.
Baca Juga: Rupiah Menguat Tipis ke Rp 16.449 Selasa (6/5), Dolar AS Tersandung Mata Uang Asia
Pergerakan ini menjadi peringatan bagi dolar AS karena menunjukkan adanya arus modal besar yang kembali masuk ke Asia, sekaligus menandakan goyahnya salah satu penopang utama kekuatan dolar: investasi global ke aset-aset AS.
Meski perdagangan Selasa (6/5) mulai menunjukkan stabilisasi, lonjakan 10% dolar Taiwan dalam dua hari tetap membekas.
Dolar Hong Kong pun menembus batas atas dalam kisaran patokannya, sementara dolar Singapura menyentuh level tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
"Fenomena ini terasa seperti 'krisis Asia yang dibalik', karena kecepatan pergerakan mata uang begitu ekstrem," ujar Louis-Vincent Gave, pendiri Gavekal Research, dalam sebuah podcast.
Sebagai perbandingan, krisis Asia 1997–1998 membuat investor kabur dari Asia, menenggelamkan mata uang-mata uang seperti baht Thailand, rupiah Indonesia, dan won Korea.
Sejak itu, negara-negara Asia justru berkomitmen mengumpulkan cadangan dolar dan menginvestasikannya dalam surat utang AS.
"Selama dua dekade terakhir, tabungan negara-negara Asia — terutama China, Taiwan, dan Korea — sangat besar, dan sebagian besar masuk ke Treasury AS. Namun sekarang, strategi itu tidak lagi terlihat sebagai jalan satu arah," kata Gave.
Baca Juga: Yuan China Tembus Level Tertinggi 1,5 Bulan, Investor Tinggalkan Dolar AS
Di Taiwan, pedagang melaporkan kesulitan mengeksekusi transaksi karena banjir aksi jual dolar.
Banyak yang meyakini ini terjadi dengan persetujuan diam-diam dari bank sentral setempat. Di pasar lain, volume transaksi juga dilaporkan melonjak.
Analis menilai lonjakan ini dipicu kebijakan tarif agresif Presiden AS Donald Trump, yang memunculkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi AS dan menurunnya daya tarik aset dolar.
Hal ini mempengaruhi dua hal utama: turunnya potensi penerimaan eksportir Asia akibat tarif, dan meningkatnya ketidakpastian atas imbal hasil aset di AS.
"Kebijakan Trump telah melemahkan kepercayaan pasar terhadap kinerja aset dolar AS," kata Gary Ng, ekonom senior di Natixis.
Ia bahkan menyebut muncul spekulasi adanya “kesepakatan Mar-a-Lago” — merujuk keresidenan mewah Trump — yang bertujuan melemahkan dolar.
Meski kantor Perdagangan Taiwan membantah isu pembahasan nilai tukar dalam perundingan dagang dengan AS, pasar tampaknya sudah bergerak sendiri.
Baca Juga: Mata Uang Asia Masih Akan Terdorong Pelemahan Dolar AS
Arah Arus Modal Mulai Berbalik
China, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura menyimpan tumpukan besar cadangan devisa dalam bentuk dolar AS — senilai triliunan dolar.
Di China saja, simpanan valuta asing di perbankan mencapai US$ 959,8 miliar per akhir Maret 2025, tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Di luar cadangan resmi, banyak dana investasi dan dana pensiun Asia juga menggenggam aset dolar AS, namun dengan lindung nilai (hedging) yang terbatas akibat biaya yang tinggi. Kini, tren itu mulai bergeser.
Goldman Sachs dalam catatannya menyebut investor global mulai berbalik dari posisi jual yuan ke posisi beli, artinya mereka mulai menjual dolar AS dengan ekspektasi pelemahan lebih lanjut.
Salah satu strategi populer di pasar, yaitu membeli dolar murah lewat kontrak forward di Hong Kong (yang dikenal sebagai “perdagangan gratis yang tak pernah gagal”), kini juga berbalik arah.
Ketergantungan terhadap kestabilan kurs dolar Hong Kong tidak lagi memberi hasil seperti dulu.
Baca Juga: Rupiah Dibuka Melemah ke Rp 16.478 Per Dolar AS Hari Ini (6/5), Seluruh Asia Tertekan
"Pelaku hedge fund dan investor leverage memegang ratusan miliar dolar di perdagangan forward HKD, dan kini mulai melepas posisi mereka," ungkap Mukesh Dave, CIO Aravali Asset Management yang berbasis di Singapura.
Sementara itu, bank sentral de facto Hong Kong pada Senin lalu menyatakan telah mengurangi durasi kepemilikan obligasi AS dan mendiversifikasi eksposur mata uang ke luar dolar AS.
Di pasar obligasi Asia, penguatan imbal hasil menunjukkan bahwa dana eksportir dan investor institusi jangka panjang mulai kembali ke rumah.
“Wacana repatriasi kini menjadi kenyataan,” ujar Parisha Saimbi, pakar strategi FX dan obligasi Asia Pasifik di BNP Paribas, Singapura. “Dalam bentuk apa pun, ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap dolar AS mulai bergeser dan menunjukkan tren menurun — ada proses de-dolarisasi yang sedang berlangsung.”
UBS memperkirakan, jika perusahaan asuransi Taiwan menaikkan rasio lindung nilai ke rata-rata 2017–2021, maka potensi aksi jual dolar AS bisa mencapai US$ 70 miliar.
Bank sentral Taiwan telah berjanji menstabilkan nilai tukar, bahkan Presiden Taiwan turun tangan lewat pesan video, menegaskan isu nilai tukar tidak dibahas dalam negosiasi dagang dengan AS.
Namun pasar tampaknya sudah berbicara lewat aksi mereka.
“USD/TWD adalah seperti kanari di tambang batu bara,” ujar Brent Donnelly, Presiden Spectra Markets.
“Permintaan Asia terhadap dolar AS dan keinginan bank sentral Asia mendukung dolar mulai memudar.”