Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Sejumlah tentara Israel mulai enggan bertempur di Gaza, karena menyadari bahwa warga Palestina dibunuh dan rumah-rumahnya dihancurkan tanpa pandang bulu.
Kepada AP, tujuh orang tentara Israel mengaku telah menolak melanjutkan pertempuran di Gaza. Mereka merasa bersalah atas banyak hal yang telah terjadi di sana.
"Kami diperintahkan untuk membakar atau menghancurkan rumah-rumah yang tidak menimbulkan ancaman. Tentara menjarah dan merusak tempat tinggal," kata salah satu tentara kepada AP.
Saat ini telah muncul gerakan bernama Yesh Gvul, sebuah gerakan bagi tentara Israel yang menolak bertugas di Gaza.
Juru bicara Yesh Gvul, Ishai Menuchin, mengatakan ia bekerja dengan lebih dari 80 prajurit yang menolak bertempur dan ada ratusan lainnya yang merasakan hal serupa tetapi takut untuk bersuara.
Baca Juga: OCHA: Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Sudah di Ada Fase Kritis
Sejumlah Tentara Israel Merasa Bersalah
Salah satu tentara yang mundur dari medan pembantaian, Yotam Vilk, mengatakan instruksinya adalah menembak siapa pun yang tidak berwenang yang memasuki zona penyangga yang dikuasai Israel di Gaza.
Salah satu momen yang masih terekam di ingatannya adalah saat sesama rekan tentaranya membunuh seorang remaja Palestina tak bersenjata di Jalur Gaza.
"Dia meninggal sebagai bagian dari cerita yang lebih besar. Sebagai bagian dari kebijakan untuk tetap tinggal di sana dan tidak melihat orang Palestina sebagai manusia," kata Vilk, perwira di korps lapis baja berusia 27 tahun.
Vilk merupakan salah satu dari sejumlah tentara Israel yang menentang konflik di Gaza. Vilk dan para rekannya mengatakan bahwa mereka melihat atau melakukan hal-hal yang melanggar batas etika.
Baca Juga: DPR AS Setujui Sanksi untuk ICC atas Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Tonton: Penelitian Ilmiah Inggris: Korban Jiwa Perang Gaza Jauh Lebih Banyak Angka Resmi
Seorang mantan prajurit lainnya, yang berbicara secara anonim, mengatakan bahwa ia melihat sekitar 15 bangunan terbakar tanpa alasan selama tugas dua minggu pada akhir tahun 2023. Dirinya mengaku menyesal telah terlibat dalam insiden tersebut.
"Saya tidak menyalakan korek api, tetapi saya berjaga di luar rumah. Saya ikut serta dalam kejahatan perang. Saya sangat menyesal atas apa yang telah kami lakukan," kata prajurit tersebut.
Tuly Flint, seorang spesialis terapi trauma, mengatakan banyak tentara menderita cedera moral. Hal tersebut terjadi ketika orang melihat atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
"Banyak tentara menderita cedera moral. Itu adalah respons ketika orang melihat atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Itu dapat mengakibatkan kurang tidur, kilas balik, dan perasaan tidak berharga," kata Flint, yang telah menasihati ratusan tentara selama perang, dikutip AP.
Baca Juga: Polandia Siap Melindungi Benjamin Netanyahu dari Upaya Penangkapan
Kejahatan Perang Israel di Gaza
Mahkamah Internasional (ICJ), sayangnya, masih dalam tahap menyelidiki tuduhan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan.
Sementara itu, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) sedang berupaya menangkap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant.
Israel tentu menyangkal tuduhan genosida dan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan selama 15 bulan terakhir di Gaza adalah bentuk pertahanan diri.
Militer Israel juga mengklaim selalu mengambil langkah-langkah luar biasa untuk meminimalkan jumlah korban tewas dari kalangan sipil.
Mereka mengatakan tidak pernah secara sengaja menargetkan warga sipil, dan menyalahkan Hamas karena dianggap sengaja bersembunyi di fasilitas sipil dan menggunakan warga sipil sebagai tameng.
Jumlah penduduk Gaza yang terbunuh akibat serangan Israel hingga Januari 2025 telah menembus angka 46.000. Mengingat gencatan senjata masih belum terealisasi, jumlah korban tewas itu jelas masih akan bertambah.