Sumber: Reuters | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - ZURICH. Aktivitas merger dan akuisisi (M&A) global meningkat 10% dalam sembilan bulan pertama tahun 2025. Peningkatan ini menandakan pemulihan bertahap di tengah ketidakpastian kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) dan konflik geopolitik, menurut laporan terbaru Boston Consulting Group (BCG) dikutip Reuters, Selasa (28/10).
Laporan BCG Global M&A Report menunjukkan total nilai transaksi mencapai US$ 1,94 triliun dari Januari hingga September 2025, naik dari US$ 1,76 triliun pada periode sama tahun 2024. Angka ini merupakan peningkatan untuk tahun kedua berturut-turut sekaligus capaian tertinggi sejak 2022, ketika nilai M&A selama sembilan bulan pertama sebesar US$ 2,17 triliun. "Meski ketegangan geopolitik dan perubahan kebijakan tarif menyebabkan sebagian pelaku pasar menunda langkah, banyak pihak lain yang tetap melanjutkan strategi ekspansi mereka," kata BCG.
Baca Juga: Strategy, Perusahaan Bitcoin Michael Saylor Dapat Rating Junk Bond dari S&P Global
Namun demikian, total nilai transaksi tahun ini masih lebih dari 40% lebih rendah dibandingkan rekor US$ 3,3 triliun yang tercatat pada periode yang sama tahun 2021. Lebih dari 60% aktivitas M&A global tahun 2025 berfokus pada target di Amerika Utara, dengan nilai transaksi melonjak lebih dari seperempat menjadi US$ 1,2 triliun dibandingkan tahun lalu. Di Eropa, volume transaksi turun 5% jadi US$ 375 miliar.
Sektor teknologi, media, dan telekomunikasi (TMT) mendominasi dengan nilai M&A mencapai US$ 536 miliar, disusul sektor keuangan dan properti sebesar US$ 357 miliar, serta industri manufaktur sebesar US$ 280 miliar. Inggris tetap menjadi pasar M&A terbesar di Eropa, meski nilainya turun 35%. Penurunan juga terjadi di Spanyol sebesar 58% dan Prancis turun 29%. Sebaliknya, Belanda mencatat lonjakan aktivitas hingga 263%, sementara Swiss naik 109%, Jerman 45%, Italia 28%, dan kawasan Nordik 31%.
Sementara itu, nilai M&A di kawasan Asia-Pasifik anjlok 19% menjadi US$ 284 miliar, yang merupakan level terendah dalam satu dekade terakhir, menurut laporan.
Avanty Nurdiana













