Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Buaya, salah satu reptil purba yang telah bertahan melewati jutaan tahun evolusi, memiliki ciri khas berupa sisik kepala yang berbentuk poligon tidak beraturan.
Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature oleh peneliti dari Laboratory of Artificial and Natural Evolution (LANE), Universitas Jenewa, Swiss, berhasil mengungkap mekanisme unik di balik pembentukan pola ini.
Temuan ini memberikan wawasan baru tentang proses biologis dan mekanis yang membentuk sisik kepala buaya, yang berbeda dari pola sisik reptil lainnya.
Baca Juga: Lompatan Besar dalam Teknologi Terjadi 900.000 Tahun yang Lalu, Apa Itu?
Perbedaan Pola Sisik Buaya dengan Hewan Lain
Pada kebanyakan hewan, seperti mamalia, burung, dan reptil lain, struktur seperti rambut, bulu, dan sisik terbentuk melalui interaksi kimiawi dalam embrio.
Proses ini dikenal sebagai pola Turing, yang diatur oleh gen dan melibatkan gelombang kimia yang menentukan lokasi dan bentuk struktur tersebut.
Namun, sisik kepala buaya menawarkan pengecualian menarik terhadap paradigma ini.
Sisik-sisik tersebut bukan hasil dari pola kimiawi, melainkan dari proses mekanis yang terjadi selama perkembangan embrio.
Baca Juga: Penelitian Mengungkapkan Bermain Video Game Dapat Meningkatkan IQ Anak
Mekanisme Mekanis: Dari Tegangan ke Kompresi
Mengutip sciencealert, awalnya, para peneliti menduga bahwa pembentukan pola sisik kepala buaya disebabkan oleh tegangan kulit (tensile stress), mirip dengan stretch mark pada manusia selama masa pertumbuhan.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pola ini justru muncul akibat instabilitas mekanis kompresif pada kulit embrio buaya.
Selama perkembangan embrio, kulit buaya tumbuh lebih cepat daripada tulang di bawahnya.
Ketidakseimbangan ini menciptakan lipatan-lipatan pada permukaan kulit, yang kemudian berkembang menjadi sisik berbentuk poligon.
Proses ini diperkuat oleh perbedaan kekakuan antara lapisan epidermis dan dermis kulit.
Eksperimen dan Temuan Utama
Para peneliti melakukan eksperimen dengan menyuntikkan epidermal growth factor (EGF), sebuah protein yang meningkatkan kekakuan dan laju pertumbuhan epidermis, ke dalam telur buaya Nil (Crocodylus niloticus).
Baca Juga: Terobosan Luar Biasa! Chip Baru Google mampu Menaklukkan Batasan Komputasi Kuantum
Hasilnya, embrio yang menerima perlakuan ini menunjukkan pola lipatan kulit yang lebih ekstrem dibandingkan dengan buaya normal.
Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya menunjukkan lapisan-lapisan jaringan berikut:
- Merah: Epidermis (lapisan kulit terluar)
- Merah muda: Dermis (lapisan kulit di bawah epidermis)
- Coklat-putih: Tulang
- Ungu kebiruan: Serat kolagen di dua area yang dipilih
- Oranye: Organ sensorik integumentari
Hasil eksperimen ini, ditambah dengan simulasi komputer, menegaskan bahwa pola sisik kepala buaya normal merupakan hasil dari pertumbuhan kulit yang lebih cepat dibandingkan tulang di bawahnya, serta perbedaan kekakuan antara lapisan epidermis dan dermis.
Baca Juga: DNA Rambut Beethoven Ungkap Fakta Mengejutkan Setelah Hampir 200 Tahun
Evolusi Pola Sisik pada Spesies Buaya
Studi ini juga mengungkap bahwa pola sisik yang berbeda pada berbagai spesies buaya mungkin disebabkan oleh variasi dalam pertumbuhan kulit embrio yang diatur oleh evolusi.
Misalnya, buaya Nil memiliki pola sisik yang mirip dengan buaya caiman, namun dengan variasi kecil yang mencerminkan adaptasi spesifik terhadap lingkungan.
Temuan ini tidak hanya memberikan pemahaman baru tentang perkembangan biologis buaya, tetapi juga membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme serupa mungkin berlaku pada spesies lain.
Selain itu, pola mekanis ini dapat memberikan inspirasi dalam bidang teknik material, terutama dalam menciptakan struktur dengan pola geometris yang kompleks.