Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BEIJING/SINGAPORE. Pedagang komoditas global tengah mencermati pembicaraan antara Amerika Serikat (AS) dan China terkait tarif produk pertanian. Isu ini menjadi kunci bagi petani AS untuk kembali memperkuat posisinya di pasar ekspor terbesar mereka.
Pejabat tinggi negosiasi perdagangan China, Li Chenggang, dijadwalkan melakukan kunjungan ke Washington pekan ini untuk bertemu dengan pejabat AS.
Produk pertanian merupakan ekspor terbesar AS ke China. Komitmen Beijing untuk meningkatkan pembelian diperkirakan menjadi bagian penting dalam kesepakatan dagang yang lebih luas.
Presiden AS Donald Trump bahkan mendorong agar China melipatgandakan pembelian kedelai dari AS.
Baca Juga: Investor Harap Negosiasi Dagang AS-China Redakan Ketegangan Perang Tarif
Namun, pengalaman sebelumnya membayangi negosiasi ini. Pada kesepakatan dagang "Fase 1" tahun 2020, China berjanji membeli tambahan barang AS senilai US$ 200 miliar pada 2020–2021. Komitmen itu tidak sepenuhnya terealisasi.
China tetap menjadi pasar utama bagi petani AS dengan nilai pembelian sebesar US$ 29,25 miliar pada tahun lalu. Dari total itu, kedelai mendominasi dengan nilai ekspor mencapai US$ 12,8 miliar, sekitar setengah dari total ekspor kedelai AS.
Namun, sebagian besar perdagangan kini terhenti akibat tarif yang diberlakukan Beijing.
Baca Juga: Tarif Impor AS-Tiongkok Turun Tajam, Ini Dampaknya Bagi Indonesia
Impor pertanian China sendiri telah turun lebih dari seperempat dibanding puncaknya pada 2022 yang mencapai lebih dari US$ 40 miliar, selevel dengan komitmen tahunan dalam kesepakatan Fase 1.
Tantangan Mencapai Kesepakatan
Meski peluang kesepakatan ada, tantangan besar tetap membayangi. Untuk kembali meningkatkan ekspor, AS harus mampu menggeser pemasok pesaing, terutama dari Amerika Latin.
Data bea cukai China menunjukkan pangsa impor pertanian dari AS merosot menjadi 12% pada 2024 dari 20% pada 2016. Sebaliknya, pangsa Brasil naik dari 14% menjadi 22%.
Sejak perang dagang pertama Trump, China berupaya mendiversifikasi sumber impor sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasokan dari AS. Selain itu, Beijing juga meluncurkan kebijakan untuk menekan ketergantungan pada impor pangan secara keseluruhan.
Baca Juga: Tarif Impor AS-Tiongkok Turun Tajam, Ini Dampaknya Bagi Indonesia
Pada April lalu, pemerintah China mengumumkan rencana memangkas kadar campuran bungkil kedelai dalam pakan ternak sebesar 10% pada 2030. Kebijakan ini diperkirakan dapat mengurangi impor kedelai hingga 10 juta ton per tahun, hampir setara dengan separuh ekspor kedelai AS ke China pada tahun lalu.
Kedelai tetap menjadi komoditas paling strategis dalam pembicaraan. Namun, waktu bagi petani AS kian sempit. China biasanya mengimpor kedelai AS pada periode September–Januari.
Hingga kini, belum ada pemesanan awal yang dilakukan Beijing. Jika pembelian beralih ke Amerika Selatan, eksportir AS berisiko kehilangan potensi pendapatan miliaran dolar.
Harga kedelai di bursa Chicago saat ini berada mendekati level terendah sejak 2020, tertekan oleh minimnya pembelian dari China serta proyeksi panen besar di AS.
Baca Juga: Negosiasi Tarif AS-China di Jenewa Berlanjut Minggu (11/5) Ini, Belum Ada Terobosan
Awal bulan ini, petani kedelai AS mengirim surat kepada Trump. Mereka mendesak tercapainya kesepakatan dengan Beijing dan memperingatkan dampak ekonomi serius apabila China terus menolak membeli hasil panen mereka.