Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - PETALING JAYA. Moody's Analytics mengingatkan, ada 50% kemungkinan resesi global akan terjadi dalam 12 hingga 18 bulan ke depan.
Meski demikian, mengutip The Star Online, dampak dari adanya potensi resesi tersebut mungkin tidak sedalam penurunan ekonomi yang terjadi satu dekade lalu.
Peringatan oleh Chief Economist Moody's Analytics Asia-Pacific Steve Cochrane ini diutarakan di tengah memanasnya tensi perang dagang antara China dan AS. Ditambah lagi, terjadi perlambatan ekonomi global dan bank sentral dunia juga ramai-ramai memangkas suku bunga acuannya.
Baca Juga: Perang dagang, perusahaan China ramai-ramai pindahkan usaha ke Malaysia
"Perang dagang semakin memanas di atas ekspektasi dan ini bisa berdampak buruk bagi ekonomi global. Potensi terjadinya resesi global dalam 12 bulan hingga 18 bulan ke depan naik dari 40% menjadi 50%," jelasnya.
Dia juga menambahkan, "Resesi 2008 menyebabkan ketidakseimbangan pada pasar finansial, sehingga menyebabkan resesi yang dalam. Dengan kata lain, resesi berikutnya akan disebabkan oleh hilangnya tingkat kepercayaan bisnis, melorotnya investasi, dan minimnya lapangan kerja."
Baca Juga: Perang mata uang, patutkah investor cemas?
Cochrane juga menyebut, resesi yang akan terjadi tidak terlalu dalam, namun bisa terjadi dalam jangka panjang karena sulit untuk memutar balik bisnis dan mendapatkan kembali kepercayaan investor.
Perang dagang antara China dan AS semakin memburuk pada 1 Agustus lalu setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan akan menaikkan pajak impor sebesar 10% atas barang-barang China senilai US$ 300 miliar.
Menurut Moody's, tambahan tarif terhadap China akan menaikkan total pajak efektif secara keseluruhan menjadi 5,4%. Sebagai perbandingan, pada akhir 2017, besaran total pajak efektif berada di level 1,5%.
Baca Juga: Simak respons Aprindo atas penjualan eceran yang mengalami penurunan
Moody's juga mengingatkan agar semua pihak berhati-hati. Kondisi ini akan semakin memburuk jika Trump memutuskan untuk menaikkan lagi pajak dari 10% menjadi 25% terhadap sisa barang-barang impor China senilai US$ 300 miliar.
Positifnya, Moody's menilai, kenaikan pajak impor AS ini akan menguntungkan negara-negara dengan biaya operasional murah di Asia Tenggara dan negara lainnya, karena bakal ada perpindahan tempat produksi barang-barang China.