Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Populasi Jepang mengalami penurunan paling drastis dalam sejarah pada tahun 2024, menandai krisis demografis yang semakin memperparah kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi dan stabilitas nasional.
Berdasarkan data resmi pemerintah per Oktober 2024, jumlah penduduk Jepang tercatat 120,3 juta jiwa, turun 898.000 jiwa dibandingkan tahun sebelumnya—penurunan tahunan terbesar sejak pencatatan dimulai pada 1950.
Fenomena ini bukan hal baru. Tahun 2024 merupakan tahun ke-14 berturut-turut di mana jumlah penduduk Jepang menurun, dan ke-18 kalinya secara beruntun negara tersebut mengalami penurunan populasi alami, yaitu jumlah kematian yang melebihi kelahiran.
Struktur Usia Menjadi Semakin Tidak Seimbang
Situasi semakin mengkhawatirkan karena peningkatan jumlah penduduk usia lanjut yang signifikan. Jumlah warga Jepang berusia 75 tahun ke atas meningkat sebanyak 700.000 orang, menjadikan total kelompok usia ini mencapai 20,77 juta jiwa atau 16,8% dari keseluruhan populasi—angka tertinggi sepanjang sejarah negara tersebut.
Baca Juga: Jepang Bisa Mendapat Prioritas dalam Perundingan Tarif Dagang dengan Amerika Serikat
Jika digabungkan dengan mereka yang berusia 65 tahun ke atas, kelompok lansia kini menyumbang 29,3% dari total populasi. Ini menjadikan Jepang sebagai salah satu negara dengan rasio penduduk lanjut usia tertinggi di dunia.
Tantangan Serius bagi Ekonomi dan Pertahanan Nasional
Penurunan populasi diiringi dengan penuaan penduduk menciptakan dampak domino yang serius. Berkurangnya jumlah angkatan kerja potensial menimbulkan tantangan berat bagi produktivitas nasional, daya saing industri, dan keberlanjutan sistem jaminan sosial, terutama dalam hal pensiun dan asuransi kesehatan.
Dari perspektif keamanan nasional, ketimpangan demografis ini menciptakan kekhawatiran akan ketahanan pertahanan jangka panjang, mengingat semakin sedikitnya jumlah penduduk usia produktif yang dapat direkrut ke dalam angkatan bersenjata dan sektor-sektor strategis lainnya.
Pemerintah Menyadari, Tapi Belum Menemukan Solusi Efektif
Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshimasa Hayashi, menyatakan bahwa penurunan angka kelahiran berkaitan erat dengan keengganan atau ketidakmampuan masyarakat muda untuk memiliki anak karena faktor ekonomi dan sosial.
“Kami memahami bahwa penurunan angka kelahiran terus berlanjut karena banyak orang yang ingin memiliki anak tidak dapat mewujudkan keinginan tersebut,” ujarnya.
Pemerintah saat ini tengah mendorong berbagai kebijakan komprehensif dan jangka panjang untuk menciptakan masyarakat di mana siapapun yang ingin memiliki anak dapat melakukannya dengan tenang dan terjamin. Namun, efektivitas program-program tersebut masih menjadi tanda tanya besar.
Baca Juga: Bank of Japan Peringatkan Ketidakpastian Ekonomi Jepang akibat Tarif AS
Kelahiran Bayi Terendah Sepanjang Sejarah, Tapi Ada Sinar di Ujung Terowongan
Jumlah bayi yang lahir di Jepang pada tahun 2024 mencapai titik terendah sejak pencatatan dimulai 125 tahun lalu. Angka kelahiran yang semakin menyusut memperkuat kekhawatiran bahwa Jepang sedang menuju ke era "depopulasi permanen" jika tidak ada intervensi besar-besaran.
Namun, ada satu indikator positif yang memberi sedikit harapan: jumlah pernikahan meningkat sebesar 2,2% menjadi 499.999 pernikahan, naik dari penurunan tajam 12,7% pada tahun 2020. Mengingat korelasi erat antara pernikahan dan angka kelahiran, pemerintah melihat hal ini sebagai peluang strategis untuk menahan laju penurunan populasi.