Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Ghana, John Mahama, mengeluarkan seruan tegas kepada perusahaan energi global untuk segera meningkatkan produksi minyak mentah di negaranya sebelum permintaan global terhadap bahan bakar fosil menyusut drastis seiring percepatan peralihan ke energi terbarukan.
Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya di Forum CEO Afrika yang digelar di Abidjan, Pantai Gading, pada hari Selasa.
“Minyak sedang berada dalam masa transisi. Siapa pun yang memiliki aset sebaiknya segera mengebor seperti tidak ada hari esok,” ujar Mahama dikutip barrons dari AFP.
“Saya akan membentangkan karpet merah bagi siapa saja yang ingin mengebor dan memompa minyak, karena satu hingga dua dekade mendatang, dunia akan beralih ke energi terbarukan,” tambahnya.
Baca Juga: Laba Aramco Turun 4,6% Kuartal I 2025, Tertekan Harga Minyak & Ketidakpastian Global
Kekhawatiran Terjebaknya Cadangan Minyak di Bawah Tanah
Mahama memperingatkan bahwa Ghana menghadapi risiko besar bila tidak segera mengeksploitasi cadangan minyaknya.
Dengan semakin banyak negara berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon guna menghadapi krisis iklim, permintaan global terhadap minyak diproyeksikan akan menurun secara signifikan dalam waktu dekat.
Menurut Mahama, jika proses pengeboran tidak dipercepat, cadangan minyak Ghana dapat "terjebak di dalam tanah" dan menjadi tidak bernilai secara ekonomi.
Penurunan Produksi dan Disinvestasi Akibat Ketidakpastian Regulasi
Sektor minyak dan gas Ghana mengalami penurunan produksi yang cukup tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Data dari Public Interest and Accountability Committee (PIAC), lembaga resmi yang memantau pendapatan minyak dan gas Ghana, menunjukkan bahwa produksi minyak mentah Ghana turun dari 71,44 juta barel pada tahun 2019 menjadi hanya 48,25 juta barel pada tahun 2023.
Presiden Mahama menyalahkan pemerintahan sebelumnya di bawah kepemimpinan Nana Akufo-Addo atas penurunan tersebut. Ia menuding pemerintah sebelumnya memperlambat eksplorasi melalui kebijakan yang membingungkan dan perselisihan dengan investor besar seperti Tullow Oil dari Inggris dan ENI dari Italia.
“Sektor ini mengalami banyak disinvestasi karena pemerintahan sebelumnya berselisih dengan Tullow dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Mahama.
“ENI bahkan sampai memindahkan seluruh manajemen ekspatriatnya ke Pantai Gading karena dianggap dihina oleh pengadilan,” ungkapnya.
Baca Juga: Ekspor Non Migas Arab Saudi Melonjak Tertinggi Sepanjang Sejarah
Kembali Beroperasinya Pemain Internasional dan Prospek Aset Lepas Pantai
Meski menghadapi tantangan, Mahama menyatakan bahwa kepercayaan investor mulai pulih. ENI, salah satu pemain utama di sektor energi Ghana, kini telah kembali beroperasi dan melanjutkan pengeboran. Hal ini diharapkan mampu memulihkan produksi nasional dan mendukung stabilitas fiskal negara.
Ghana memiliki beberapa ladang minyak lepas pantai utama, antara lain:
-
Jubilee Field, yang dioperasikan oleh Tullow Oil
-
TEN Field
-
Sankofa Field, yang melibatkan ENI, Kosmos Energy, PetroSA, dan Perusahaan Nasional Minyak Ghana (GNPC)
Prioritaskan Minyak, Tapi Tidak Lupakan Energi Bersih
Meskipun menekankan urgensi peningkatan eksploitasi minyak, Mahama menegaskan bahwa Ghana tetap berkomitmen pada target energi bersihnya.
Ia menyebut bahwa berdasarkan Renewable Energy Act yang berlaku, setidaknya 10 persen dari bauran energi nasional Ghana harus berasal dari sumber energi terbarukan.
“Kami tidak boleh mengabaikan tujuan energi bersih. Undang-undang kami sudah menetapkan bahwa minimal 10 persen bauran energi harus dari sumber terbarukan,” terangnya.