Penulis: Virdita Ratriani
Akhir tahun lalu juga terungkap apa yang analisis sebut skema Ponzi yang bank sentral Lebanon jalankan. Skema ponzi bank sentral Lebanon lakukan dengan meminjam dana dari bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas pasar untuk membayar utangnya, sekaligus menyelamatkan nilai tukar mata uang Lebanon.
Pada saat yang sama, masyarakat semakin marah dan frustrasi tentang kegagalan pemerintah dalam menyediakan layanan dasar. Masyarakat harus berhadapan dengan pemadaman listrik harian, kurangnya air minum, terbatasnya layanan kesehatan masyarakat, dan beberapa koneksi internet terburuk di dunia.
Banyak yang menyalahkan elit penguasa yang telah mendominasi politik selama bertahun-tahun, demi mengumpulkan kekayaan mereka sendiri. Sementara mereka gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah negara.
Bagaimana pandemi memperburuk masalah?
Setelah kematian pertama akibat virus corona dan terjadi lonjakan infeksi, lockdown berlaku pada pertengahan Maret untuk mengekang penyebaran. Di satu sisi, hal tersebut membuat krisis ekonomi jauh lebih buruk dan mengekspos ketidakmampuan sistem kesejahteraan sosial Lebanon.
Baca Juga: Ledakan di Beirut, Lebanon, 1 warga Indonesia luka ringan
Banyak pengusaha terpaksa melakukan PHK atau menerapkan cuti tanpa dibayar. Ketika harga barang naik berkali-kali lipat, banyak keluarga tidak mampu membeli bahkan kebutuhan pokok.
Kesulitan ekonomi yang meningkat memicu kerusuhan baru. Pada April lalu, seorang pemuda ditembak mati oleh tentara selama protes keras di Tripoli dan beberapa bank dibakar.
Saat pelonggaran lockdown pada Mei lalu, harga beberapa bahan makanan naik berkali-kali lipat. Dan, Perdana Menteri Hassan Diab memperingatkan, Lebanon berisiko mengalami krisis pangan besar.
"Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan, dan sayuran, dan mungkin akan sulit untuk membeli roti," tulisnya di Washington Post.
Baca Juga: Update korban ledakan Beirut: 78 orang tewas, nyaris 4.000 orang luka-luka